Saya melihat orang yang terlalu mewah literasinya dan berada dalam masa yang belum tepat, akan membuat orang itu menjadi terlihat "aneh".
Memang, mengembangkan intelektualitas adalah hak setiap orang dan tidak terlalu mengenal batas usia. Namun, di sisi lain, orang yang terlampau mendahului perkembangan dirinya dengan asupan literasi yang sudah meluas juga kurang baik.
Contohnya, orang yang terlalu banyak memeroleh informasi tentang teori konflik dan alienasi dari Karl Marx, akan berusaha menolak kenyataan di realitasnya bahwa kehidupan yang dia jalani sebagian besar menerapkan teori struktural fungsional dari Emile Durkheim.
Artinya, seseorang yang mendapatkan pemahaman tentang keberadaan kesenjangan status dan hak antara si kelas atas dan si kaum tertindas akan berusaha menolak suatu realitas yang memprihatinkan, bahwa keberadaan si kelas atas dan si kaum tertindas selamanya akan tetap ada dan terus berdampingan.
Namun, kenyataan itu sulit diterima, karena sedari awal orang yang mengonsumsi bacaan tentang teori Marx ataupun teori lain, secara kepribadian masih sedang mencari jati diri. Itu yang membuat cara menelaah pemikiran dari orang lain terkadang belum bisa dibagi ke porsi yang cukup imbang antara faktual dengan aktual.
Jika sudah begitu, orang tersebut memilih untuk mengasingkan diri dan terus mengutuki kenyataan di sekitarnya. Di sinilah yang menurut saya menjadi dampak buruk dari literasi yang berlebihan di batas kemampuan diri seseorang yang menjangkaunya.
Itulah mengapa, saya juga cenderung berupaya menyesuaikan kebutuhan literasi dengan keadaan internal saya. Apakah saya sudah siap untuk diajak berpikir ala tokoh A, B, C dan sebagainya.
Dampak bagusnya, saya masih bisa berpikir waras, alias masih bisa menerima kenyataan. Tidak semua hal yang salah harus saya kritik, karena pada kenyataannya itu juga ada di sekitar saya atau malah saya lakukan.
Namun, tentu saja ada dampak buruknya, yaitu ketertinggalan saya dengan orang lain yang lebih melek informasi. Terkadang, saya masih perlu waktu lama untuk memahami konteks yang dibicarakan orang lain dan harus pula saya tinjau ulang informasi yang dibagikan orang lain dengan informasi yang bertebaran di luar sana.
Hal itu juga berlaku ketika saya menemukan sebuah tulisan yang menyentil tentang isu propaganda--walaupun tidak ada penyebutan tersebut di tulisan tersebut--di balik perjuangan pahlawan dan kemerdekaan Indonesia. Apakah memang kita merayakan hari proklamasi kemerdekaan setiap 17 Agustus karena "terhasut" propaganda lewat "dongeng" buku sejarah di sekolah?
Kalau saya, lebih memilih cara yang sederhana untuk membuat saya tetap menghargai peringatan hari proklamasi kemerdekaan. Salah satu caranya adalah dengan menghargai keberadaan lagu "Indonesia Raya".