Hampir tidak disadari bahwa turnamen sepak bola antarnegara masih ada yang tergelar. Turnamen itu adalah Gold Cup 2021, atau yang di Indonesia sering disebut Piala Emas. Biar gampang diucapkan, ya?
Tetapi, dalam tulisan ini penyebutannya tetap sesuai nama aslinya. Itu untuk menyejajarkan dengan penyebutan pada dua turnamen lainnya, yaitu Euro dan Copa America. Jika kita sudah fasih menyebut Euro (yuro) dan Copa America (kopa amerika), kenapa tidak untuk membiasakan dengan Gold Cup (gol[e]d kap)?
Lagipula, bukankah kita sudah masuk ke era percakapan multilingual? Dalam media chat saja, terkadang kita mencampuradukkan kosakata antara bahasa nasional, bahasa daerah, dan bahasa internarsional yang sebagian besar adalah bahasa Inggris selain bahasa Arab.
Artinya, dalam ranah sepak bola, kita juga boleh menyebut istilah-istilah dalam penyebutan yang sebenarnya tanpa perlu dialihbahasakan. Toh, sudah mengerti.
Kembali fokus ke Gold Cup, kita seperti dilema dalam mengawal turnamen ini. Antara senang, karena masih ada tontonan sepak bola lagi, tapi juga kurang senang, karena tidak terlalu banyak yang membicarakannya. Istilah gaul dan ringkasnya adalah 'kurang hype'.
Biasanya, kaum pengikut yang berisik di media sosial, termasuk penggemar sepak bola, hanya berpatokan pada 'ke-hype-an'. Jika sebuah turnamen atau kompetisi tidak hype, akan jarang dibicarakan.
Nahasnya, itulah yang dialami oleh Gold Cup, terutama Gold Cup 2021. Bak padang pasir dan pegunungan, Gold Cup seperti hamparan tandus yang tidak perlu dijamah.
Berbeda dengan Euro dan Copa America yang masih perlu dijamah. Ini karena, penaklukkan gunung-gunung tertinggi biasanya mendapatkan like banyak di media sosial, dan bahkan mendapatkan Guinness World Record.
Lalu, apa yang membuat Gold Cup sesuram itu?