Selain itu, kepekaan tangan juga belum terlatih untuk menilai tebal-tipisnya rambut. Berbeda kalau orang lain yang memangkas, maka penilaian tebal-tipisnya rambut akan berdasarkan pada penglihatan, bukan perabaan.
Namun, karena harus pangkas rambut sendiri, maka perabaan perlu dilatih. Artinya, harus sering memangkas rambut sendiri, agar mulai tahu seberapa batas minimal rambut untuk dinyatakan sudah tipis.
Ketiga, menggunakan sisir biasa untuk menyelamatkan rambut dari pemangkasan yang ekstrem akibat sisir-silet. Awalnya, saya hanya mengandalkan sisir-silet akibat hasil melihat orang lain yang dengan gampangnya memangkas rambut teman saya dengan sisir-silet tanpa alat lain.
Ternyata, kalau memangkas sendiri dengan sisir-silet, masih tetap perlu adanya sisir biasa untuk menjadi pengukur batas minimal ujung rambut yang terpangkas.Â
Batas minimalnya adalah ketika rambut sudah tidak mengembang atau sulit untuk menyelipkan sisir, saat rambut disisir secara vertikal mengarah ke atas.
Intinya, sisir biasa digunakan selain sebagai pengukur batas minimal ujung rambut, juga untuk "perisai" rambut. Supaya silet yang ada di sisir tidak sampai menyentuh kulit kepala, yang artinya sampai membotaki kepala.
Kecuali, kalau tujuannya untuk membotaki kepala demi gaya rambut ala mahasiswa baru atau angkatan militer dan anggota kepolisian. Itu baru dipersilakan.
Kiat yang pertama juga bisa diubah dengan situasi sekarang yang sudah ada teknologi, yaitu memanfaatkan kamera ponsel. Entah, dengan kamera depan atau kamera belakang, bisa semua.
Hanya saja, perlu penyesuaian. Kalau menggunakan kamera depan, kita bisa langsung menekan tombol potret setelah mengarahkan kamera ke bagian kepala belakang.Â
Kalau menggunakan kamera belakang--karena faktor resolusi yang lebih baik dan sebagainya, maka perlu diterapkan pula pengaturan hitung waktu mundur.