Ketajaman tim ini pada akhirnya juga bisa diredam. Termasuk saat menghadapi Chile di perempat final.
Di laga tersebut, Brasil harus bersusah payah mempertahankan skor 1-0 setelah Gabriel Jesus dikartu merah oleh wasit, tak lama setelah timnya unggul. Setelah itu, Brasil mulai fokus menjaga tempo permainan dan berupaya menutup setiap ruang bagi Chile untuk menyerang.
Brasil memang tidak sepenuhnya pragmatis di laga ini pasca bermain dengan 10 orang. Tetapi, di sisi lain, kita bisa melihat bahwa Brasil mencoba memanfaatkan kualitas individu pemainnya, terutama Neymar.
Inilah yang membuat Chile sebenarnya tidak bisa sepenuhnya menyerang. Karena, mereka juga harus mewaspadai serangan balik Brasil yang khususnya dilakukan Neymar.
Lalu, apakah Neymar adalah pemecah masalah Brasil?
Sekilas, bisa dikatakan demikian. Tetapi, secara kolektif, mereka juga berupaya memecahkan masalah tersebut dengan usaha bersama, yaitu mencari gol cepat di babak kedua.
Tentu kita tahu bahwa dalam turnamen ini, Brasil baru kebobolan 2 gol. Artinya, mereka selain punya produktivitas juga punya soliditas dalam menjaga pertahanan. Ini yang dimaksimalkan Brasil ketika menghadapi Chile yang pantang takut.
Artinya, mereka bisa menghadapi permasalahan terkait keuletan lawan dalam meladeni permainan mereka dengan kualitas pertahanan. Keberadaan Marquinhos, Thiago Silva, hingga Eder Militao dapat memperkokoh lini belakang dan mempersulit lawan untuk menembusnya.
Keapesan bagi lawan, terutama Chile, adalah produktivitas. Mereka mampu menyerang dan menciptakan peluang, tetapi sulit mengubahnya menjadi gol.
Kemudian, kita bisa beralih ke Argentina. Tim yang diasuh Lionel Scalone ini bisa disebut malah menghadapi banyak masalah sejak fase grup.