Mohon tunggu...
Deddy Husein Suryanto
Deddy Husein Suryanto Mohon Tunggu... Penulis - Content Writer

Penyuka Sepak Bola. Segala tulisan selalu tak luput dari kesalahan. Jika mencari tempe, silakan kunjungi: https://deddyhuseins15.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Film Pilihan

"Conjuring 3: The Devil Made Me Do It", Film Horor yang Menjadi Film Misteri

30 Juni 2021   17:02 Diperbarui: 30 Juni 2021   17:15 517
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mungkin, ada yang masih berpikir film horor dan film misteri adalah genre film yang sama. Padahal, keduanya punya unsur utama yang berbeda.

Film horor masih berunsur utama irasionalitas, sedangkan misteri masih mengandalkan rasionalitas, walaupun harus memecahkan teka-teki sulit. Yang membuat horor dan misteri punya kemiripan adalah keberadaan thriller dan teka-teki sebagai bumbu penyedapnya.

Namun, horor cenderung kuat di thriller, sedangkan misteri belum tentu thriller. Kecenderungan ini bisa disebut masih bertahan di film horor yang tidak menampakkan kejadian supranatural, seperti "Hereditary".

"Hereditary" tetap bikin penonton merasa ngilu, karena ada adegan yang bisa disebut thriller. Kalau di Indonesia, tentu pandangannya bisa mengarah ke "Perempuan Tanah Jahanam".

Dua film itu disebut horor karena membutuhkan unsur irasionalitas dan thriller. Keduanya kemudian membaur dengan kepercayaan-kepercayaan yang berkaitan dengan dunia supranatural.

Bagaimana dengan "Conjuring 3"?

Film berseri yang mengandalkan kisah dari perjalanan Ed dan Lorraine Warren di dunia supranatural ini bisa disebut bagus dan punya kelas tinggi di genre horor. Namun, secara subjektif, penulis merasa saga Conjuring yang kuat di unsur horor justru "Conjuring 2".

Memang, di "Conjuring 3" unsur teror masih ada. Namun, batasan daya tarik adegan horornya seperti kurang.

Padahal, jumlah adegan horor di film ini bisa disebut banyak. Secara pribadi, penulis mencatat ada 5 adegan horor. Tentu, dengan penilaian horor versi penulis.

Namun, karena penjabaran adegan horor di film ini berkaitan dengan spoiler, maka pembaca harap bijak untuk membacanya. Kalau belum menonton, sebaiknya penjabaran adegan horor di film ini bisa dilompati dengan memperhatikan tanda dua bintang (** yang muncul dua kali.

**

Adegan horor pertama adalah eksorsis yang dilakukan Ed dan Lorraine Warren terhadap David. Adegan ini sangat menarik, karena melibatkan anak kecil.

Adegan ini bisa disebut naik kelas, karena berani menjadikan anak kecil sebagai subjek adegan horor. Secara fisik, David terlihat lebih muda daripada tokoh anak-anak di seri Conjuring sebelumnya.

Adegan David yang kerasukan. Sumber: via Sushi.id
Adegan David yang kerasukan. Sumber: via Sushi.id
Secara profesional, tentu ini diharapkan tidak membuat pihak pengamat dan pembela hak anak menganggap ini akan menjadi pintu pembuka eksploitasi anak-anak di bidang keaktoran, terutama di film. Penulis masih yakin, adegan ini masih dalam tahap aman dan tidak membuat pemeran David kesakitan.

Adegan horor kedua adalah momen pembunuhan Bruno. Memang, jika disebut pembunuhan saja, konotasinya menjadi kriminal dan thriller.

Namun, kalau menyertakan momen, berarti ada proses. Di sinilah, adegan horor terjadi. Penonton bisa melihat Arne merasa diteror secara supranatural dan membuatnya salah paham dengan apa yang dilakukan Bruno terhadap Debbie.

Adegan horor ketiga adalah penelusuran kasus lain yang melibatkan Jessica. Perempuan muda yang diduga pelaku pembunuhan terhadap rekannya, namun jejaknya belum diketahui pasca melakukan pembunuhan di hutan.

Berkat Lorraine, jejak Jessica dapat ditemukan. Proses menemukan inilah yang bisa disebut keren sekaligus mendebarkan.

Sebuah adegan penelusuran di hutan. Sumber: via Beautynesia.id
Sebuah adegan penelusuran di hutan. Sumber: via Beautynesia.id
Lorraine seperti melakukan kilas balik terhadap kejadian yang pernah terjadi di hutan tersebut. Ketika Lorraine "menjadi" Jessica, di situlah mulai terasa ada kekhawatiran seperti yang dirasakan oleh Ed.

Adegan horor keempat adalah adegan serangan secara supranatural kepada Ed. Ini juga bisa disebut keren, dan bahkan bisa disebut lebih keren dibandingkan adegan Arne yang kerasukan dan membunuh Bruno.

Mungkin, karena secara cerita, kita sebenarnya sudah tahu bahwa inti dari cerita ini sebenarnya di situ. Cerita itu juga yang sudah banyak dibahas secara terpisah sebagai kasus kriminal, bukan kasus horor.

Itulah mengapa, adegan horor yang melibatkan Arne dan Bruno seperti biasa saja. Sedangkan, adegan Ed bisa disebut lebih menarik dan horor.

**

Adegan horor kelima adalah adegan terakhir. Penulis tidak bisa menjelaskan seperti apa adegannya. Namun, secara konsep, ini sudah tepat untuk menunjukkan "jiwa" film ini.

Sebagai film horor, memang, awal dan akhir sewajarnya menampilkan sisi utama dari genre tersebut. Walaupun, tidak sedikit film horor memilih awal yang santai, baru di tengah hingga akhir penonton dihujani oleh adegan horor.

"Conjuring 3" bisa disebut ingin mengefektifkan cerita. Seandainya, adegan pindah rumah keluarga David ditaruh di depan, itu adalah konsep yang banyak ditampilkan di film horor pada umumnya.

Beruntung, "Conjuring 3" tidak menampilkannya seperti itu. Beruntung juga, penonton seperti langsung diajak fokus dengan adegan David, bukan dengan adegan mesra Arne dan Debbie yang sebenarnya tidak terlalu penting.

Kalau adegan itu "disamarkan" pun, penonton sudah tahu kalau hubungan Arne dan Debbie sudah sangat intim. Namun, entah mengapa, sutradara masih ingin menyelipkan adegan yang (maaf) picisan.

Apakah ini upaya untuk tetap menyisipkan "identitas" film Barat? Ataukah ini memanfaatkan genre film horor yang cenderung pas ditonton oleh kelompok usia dewasa?

Meski begitu, film ini tetap patut dipuji hebat karena mampu memilih awal dan akhir cerita diisi dengan adegan horor. Itu yang membuat film ini seperti terasa singkat, padat, dan tentunya masih bisa disebut berbeda dengan film horor kebanyakan.

Lalu, mengapa film ini malah disebut film misteri?

Sebenarnya, film ini tetaplah sangat pantas disebut film horor jika berdasarkan kuantitas adegan horornya. Namun, yang membuat film ini terasa khas film misteri adalah upaya menyelesaikan masalah.

Di suatu adegan, penonton seperti diajak menggunakan logika seperti adegan detektif yang berupaya memecahkan teka-teki pada kasus yang dihadapi. Jika penonton punya jam terbang cukup tinggi dalam menikmati film-film misteri, maka penonton akan cepat tahu di mana konklusinya.

Entah, itu disebut kekurangan atau malah kelebihan. Yang pasti, pada akhirnya, film ini juga seperti mengiyakan tentang identitas misteri dengan penggambaran akhiran (ending) pada film.

Akhiran pada film bisa disebut berbeda dengan akhir dari cerita. Akhir dari cerita sebenarnya lebih lekat pada genre dan inti dari cerita.

Sedangkan, akhiran pada film secara teknis bisa diketahui dengan menjelang munculnya kredit. Adegan terakhir itulah bisa disebut akhiran pada film.

Kenapa dua hal itu harus dibedakan? Terutama pada film ini.

Karena, film ini memang memberikan dua akhir yang berbeda. Satu untuk cerita, satu untuk film. Penonton sebisa mungkin harus tahu mana yang merupakan akhir dari cerita, mana yang merupakan akhir dari film.

Cerita di film ini sebenarnya ada di David, Arne, dan sepasang Warren. Namun, akhiran pada film tetap dibutuhkan, karena kita juga perlu tahu bagaimana bentuk akhir pasca adegan yang melibatkan Warren.

Apakah Arne seperti yang ada di kisah nyata, atau diubah untuk memberikan kesan yang berbeda kepada penonton. Tentu, keduanya punya risiko masing-masing.

Kalau tidak diubah, maka penonton sudah tahu akhir filmnya seperti apa. Kalau diubah, penonton terkejut dan di sisi lain akan mengundang perdebatan terkait label "based on true story".

Secara pribadi, penulis sangat mengapresiasi keberanian upaya mengangkat kisah ini ke film berseri Conjuring. Penonton menjadi diajak melihat kejadian nyata di masa lalu dan bagaimana kemasannya dengan sudut pandang dari genre horor.

Itu yang membuat penonton juga bisa berupaya mengambil kesimpulan. Apakah memang Arne kerasukan dan membuatnya dapat membunuh Bruno. Atau, sebenarnya ada hal lain yang membuat Arne harus membunuh Bruno.

Secara logika, sebenarnya, itu juga diperlihatkan di film ini. Hanya saja, terkadang kita masih dibenturkan dengan hal-hal yang irasional. Ini yang membuat kasus Arne masih rawan perdebatan.

Tetapi, kalau secara pribadi, penulis malah merasa film ini mengajak kita untuk tetap berpegang pada rasionalitas di balik keberadaan irasionalitas. Hal-hal yang di luar nalar memang bisa saja terjadi, tetapi hal itu bisa muncul ketika rasionalitas berkurang.

Ketika rasionalitas tetap pada takaran normal, tidak berlebih, irasionalitas sudah menipis--tidak sepenuhnya hilang. Inilah yang penulis dapatkan ketika menonton film ini, dan membuat penulis berpikir bahwa film ini sepertinya mendayung di samudera horor dengan sampan misteri.

Mungkin.

Lalu, bagaimana dengan pembaca?

Malang, 28 Juni 2021
Deddy Husein S.

Catatan: Tulisan ini hanya ditulis oleh seorang penonton film, bukan praktisi film. Mohon dibaca dengan bijaksana. Terima kasih.

Terkait: IMDb.com, Kompas.com 1 dan 2, Rottentomatoes.com 1 dan 2, CNNIndonesia.com 1 dan 2, Cineverse.id, Kincir.com, Masterclass.com, Scriptmag.com.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun