Lalu, bagaimana dengan anak yang belum sekolah?
Menurut saya, anak yang belum sekolah tidak diharuskan berpuasa. Tapi, kalau untuk mengetahui puasa dan mulai mengenal puasa, tidak masalah. Kalau kemudian anak ingin ikut berpuasa, boleh berpuasa sampai pukul 10.00 pagi, karena di waktu tersebut biasanya anak juga sudah mulai lapar.
Kalau saya pribadi sebelum sekolah seingat saya tidak berpuasa. Tapi, sudah cukup tahu apa itu puasa dan Ramadan.
Hanya saja, saya waktu itu sering merasa kesal karena setiap momen puasa tiba, saya sering sakit. Saat kecil, anak yang belum sekolah sangat rentan dengan dampak dari asupan makanan.
Kalau asupan makanannya sembarangan atau ikut selera orang dewasa, anak bisa KO juga. Maka dari itu, saya sering melewatkan Ramadan tanpa berpuasa.
Namun, ketika sudah bersekolah, saya mulai berpuasa. Dari puasa beduk, asar, hingga mulai mencoba berpuasa sampai magrib. Saya kurang ingat kapan. Yang pasti, saat SMP saya sudah bisa berpuasa sampai magrib.
Hanya saja, saat puasa saya sudah sampai ke tahap itu, malah puasa saya sering bolong. Dua penyebab klisenya adalah faktor lelah setelah pulang sekolah atau sakit.
Baca juga:Â Ayam dan Telur, dari Lawan Menjadi Kawan
Dari situlah kemudian, saya mendengar ungkapan tadi (tulisan di awal artikel ini). Walaupun berat, saya hampir selalu berusaha untuk meminimalisir jumlah hari tanpa bolong.
Entah logis atau tidak, saya cukup merasakan efek dari berkurangnya jumlah hari yang saya tidak berpuasa. Semakin sedikit hari bolongnya, saya merasa nominal THR dari salam tempel menjadi bertambah.