Saya yang masih kecil memang tidak pernah diajak salat. Tetapi, saya selalu menyaksikan ibu beribadah sembari saya tetap berada di atas ranjang dengan terkadang masih ada kelambu tipis transparan yang tidak sepenuhnya dibuka.
Artinya, dalam mengajarkan ibadah kepada anak, orang tua tidak harus langsung mengajak anak untuk berpraktik. Orang tua bisa membangun keinginan anak untuk beribadah lewat cara memberikan contoh.
Satu lubang peristiwa yang mungkin dipertanyakan adalah mengapa bisa demikian?
Sebenarnya, saya tidak pernah bertanya langsung tentang mengapa saya dulu tidak pernah diajak salat ketika kecil. Tetapi, saya pikir ini adalah hasil dari masa lalu ibu saya ketika mengenal Islam.
Dulu, ibu saya mengenal Islam lewat pencarian jati diri, bukan lewat warisan pengetahuan dari orang tua. Ini dikarenakan ada interpretasi ibu saya terkait bagaimana ajaran Islam rupanya tidak sepenuhnya selalu dicerminkan oleh penganutnya.
Itu yang membuat ibu mencari kebenarannya. Pintu utamanya adalah dengan mengenal kisah-kisah tentang Nabi Muhammad saw yang diceritakan oleh guru agamanya di kelas. Sejak itulah, ibu meyakini Islam.
Apa yang dipraktikkan pun kemudian lebih mengarah pada hasil literasinya, bukan karena warisan orang tua. Hal ini yang sepertinya juga diterapkan ke saya.
Itu adalah asumsi berdasarkan logika saya sebagai anak laki-laki yang secara perasaan--yang tidak bisa dijelaskan--selalu merasa lebih nyaman dekat dengan ibunya. Maka, ini bisa juga terjadi kepada anak laki-laki itu ketika ikut berjamaah di tempat ibadah umum (masjid/musala).
Bisa saja, dia merasa lebih nyaman beribadah di dekat ibunya daripada dengan ayahnya. Apalagi, kalau ternyata ia adalah anak yatim.
Mungkin, ada kesan pertama berupa ketidaknyamanan ketika berada di lingkungan luas dan penuh laki-laki. Dan menurut saya, itu bisa saja karena di rumah dia merasa familier beribadah di dekat ibunya. Atau, tidak dalam keadaan seramai itu.