Menurut saya, akan menjadi percuma kalau para pelaku teater sudah jamak berasal dari lingkup akademisi, tetapi pola pikir dan pola aksinya masih seperti orang-orang yang disangsikan nilai-nilai keberadaannya. Padahal, kehadiran mereka seharusnya dapat membuat teater tidak seperti--yang dianggap orang lain--sarangnya (maaf) "orang gila", dan tidak hanya berupaya bersembunyi dengan perisai altruis dan hobi.
Tanpa mereka mengunggulkan nilai penting tentang hobi, semua pelaku seni lainnya juga pasti begitu. Tetapi, pada akhirnya kesenian dapat bertahan ketika ia digerakkan dengan cara profesional.
Cara yang profesional itulah yang pasti akan membutuhkan adanya literasi. Membaca, memahami, dan mewujudkannya dengan berbagai hal yang bisa dilakukan untuk membuat kesenian itu punya dasar kuat dan tidak terkesan "ajaib".
Cara mewujudkan literasi terhadap kesenian, khususnya teater, bisa lewat ruang berkarya di panggung, kemudian berkarya bersama perkembangan teknologi, hingga memunculkan dan mendukung adanya penulisan terkait teater.
Dengan cara-cara begitu, saya sebagai penonton teater yakin, bahwa teater akan dapat berkembang. Bukan hanya sekadar hidup dan berusaha merawat fundamental yang terkadang sudah keropos, dan tak kunjung diperbaharui.
Jadi, saya berharap tidak ada lagi upaya 'memerkosa' teater dengan 'estetika' yang terkadang sudah sulit dibuktikan kebenarannya. Lebih baik terus bergerak maju dengan amunisi-amunisi baru seperti tajuk 'Udara Segar', agar teater tidak hanya menjadi "orang sepuh" yang kian rapuh di dunia seni.
Malang, 8 April 2021
Deddy Husein S.
Rujukan: KBBI
Silakan dibaca: Different Types of Drama (Egyankosh.ac.in), Theatre and Technology (Researchgate.net), dan Theorizing Theatre Design and Technology in an Age of Postmodernism (Researchgate.net).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H