Baca juga: "ENTAH" dan Teater Daring (Bagian 2)
Di situ saya menangkap adanya perdebatan tentang identitas teater ketika disajikan secara daring. Apakah itu masih disebut teater?
Hal inilah yang kemudian membuat pelaku teater menjadi berkubu-kubu, antara penganut "mazhab" lama dan "mazhab" baru. Apakah pertunjukan teater yang diunggah di Youtube akan menyalahi kodratnya sebagai seni pertunjukan teater?
Problematika ini sebenarnya memang dipicu oleh keadaan. Bagaimana teater bisa tetap hidup dalam situasi masih ada pandemi Covid-19?
Artinya, dalam perdebatan ini kemudian harus memunculkan pertanyaan baru. Apakah teater mau terus menunggu keadaan menjadi kondusif sepenuhnya agar dapat kembali beraksi seperti sedia kala?
Ini seperti melihat teater dipaksa untuk menjadi 'Beruang Kutub'. Padahal, teater tidak punya keahlian hibernasi, sekalipun para pelakunya bisa melakukan hibernasi.
Teater adalah suatu hal yang bisa memudar dan mati. Teater juga bisa disandingkan dengan rumah, yang bisa roboh atau pun kumuh jika sudah takberpenghuni.
Teater juga bisa menjadi langka dan hilang dari peradaban. Karena, teater tidak bisa hidup sendiri. Itulah kenapa, teater harus tetap berani muncul ke permukaan saat pandemi hadir.
Memang, akan sangat butuh perjuangan lebih besar dari sebelumnya. Tetapi, itulah konsekuensi yang harus ditanggung oleh mereka yang sudah secara implisit menjadi 'altruis' dalam berteater.
Saya sebut 'altruis', karena seringkali saya melihat atau mendengar pelaku teater lebih mengutamakan keinginannya untuk berkarya daripada mencari uang lewat berteater. Sekalipun, terkadang lewat teater, mereka dapat menyambung hidup juga.
Itulah mengapa, ketika teater 'dipaksa' mati sejenak saat pandemi, itu adalah tindakan tidak tepat. Bahkan, kalau kemudian yang memaksa adalah orang-orang bermazhab lama, itu juga konyol.