Mohon tunggu...
Deddy Husein Suryanto
Deddy Husein Suryanto Mohon Tunggu... Penulis - Content Writer

Penyuka Sepak Bola. Segala tulisan selalu tak luput dari kesalahan. Jika mencari tempe, silakan kunjungi: https://deddyhuseins15.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

"MASTER" dan Membeli Secangkir Kopi

6 April 2021   18:20 Diperbarui: 6 April 2021   18:27 500
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Setiap warung kopi pasti akan ada sedikit atau banyak perbedaan terhadap kopi hitamnya. Ini bisa dirasakan oleh peminum kopi fanatik maupun yang sebulan sekali minum kopi.

Artinya, dalam hal teater juga bisa demikian. Setiap panggung, setiap komunitas teater, setiap sutradara, pasti mempunyai perbedaan dalam membuat pertunjukan. Salah satu yang paling sederhana untuk dibedakan adalah durasinya.

Hal ini bisa sedikit dipermasalahkan, jika penontonnya sudah sering menonton teater. Misalnya, karena dia sering menonton teater berdurasi 'sampai mengantuk', maka dia akan protes dengan pementasan singkat ini.

Atau, kalau memang penontonnya awam, bisa saja ia hanya pernah satu kali menonton teater yang "nahasnya" berdurasi sampai mengantuk, dan itu membuatnya sudah menyiapkan diri untuk terus terjaga di pementasan ini. Sayangnya, itu tidak terjadi.

Menurut saya, ini adalah keunikan. Karena, kalau saya sebagai penonton awam, saya akan membiarkan diri saya sebagai cangkir kopi yang kosong.

Kalau seandainya cangkir itu malah diisi teh, tidak masalah. Apalagi, kalau diisi susu, malah sehat.

Itu yang kemudian saya sebut sebagai "membeli secangkir kopi". Di dalamnya terdapat keterkejutan dan penerimaan.

Memangnya, kalau kopi yang dipesan tidak sesuai harapan, si pembeli langsung pergi?

Kalau saya, tidak. Sekalipun kopi itu ternyata tidak cocok di lidah, masih saya usahakan untuk diminum. Kalau perlu, saya terus duduk di warung itu biar terasa sepadan dengan harga yang sudah saya tebus.

Pemikiran ini yang kemudian saya kaitkan dengan konteks belajar yang juga disinggung dalam diskusi pascapentas. Menurut saya, yang harus belajar teater bukan hanya para pembuat pertunjukkannya, tetapi juga penontonnya.

Penontonnya juga perlu belajar, sekalipun tidak harus masuk ke komunitas teater. Karena, sampai kemarin menonton teater, saya masih menemukan stereotip tentang keharusan untuk praktik membuat teater agar dapat disebut telah belajar teater.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun