Mohon tunggu...
Deddy Husein Suryanto
Deddy Husein Suryanto Mohon Tunggu... Penulis - Content Writer

Penyuka Sepak Bola. Segala tulisan selalu tak luput dari kesalahan. Jika mencari tempe, silakan kunjungi: https://deddyhuseins15.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

"MASTER" dan Membeli Secangkir Kopi

6 April 2021   18:20 Diperbarui: 6 April 2021   18:27 500
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Adegan dalam pementasan
Adegan dalam pementasan
Lewat tulisan-tulisan itu saya berupaya berinterpretasi tentang apa yang ingin disampaikan penyaji, khususnya oleh sutradara. Itulah mengapa, durasi 10 menit yang saya dapatkan sebenarnya bukan suatu kesia-siaan.

Bahkan, saat pementasan selesai, saya masih memperhatikan tulisan-tulisan yang ada di "dinding" panggung. Apakah pementasan ini menyuarakan suatu hal yang besar atau sebenarnya mengajak penonton untuk berpikir tentang hal-hal yang paling dekat dengan penonton masing-masing?

Rasa penasaran saya kemudian bisa dikatakan termediasikan oleh apa yang disampaikan salah seorang penonton, yang saya tahu namanya Anwari. Seorang penggiat teater dengan komunitasnya bernama Kamateatra.

Anwari (duduk di kursi merah), memberikan tanggapan kepada penyaji dan pembahas pascapentas. Sumber: Dokumentasi MASTER
Anwari (duduk di kursi merah), memberikan tanggapan kepada penyaji dan pembahas pascapentas. Sumber: Dokumentasi MASTER
Mas Anwari menyampaikan pendapatnya tentang kegelisahan-kegelisahan, khususnya yang dialami oleh penggiat kesenian. Contohnya, ketika Indonesia berada dalam masa Orde Baru.

Pada masa itu, hal-hal yang berbau kesenian akan mengalami penyortiran. Misalnya, buku, karya-karya fiksi, lirik lagu, dan sejenisnya.

Artinya, tidak hanya dalam hal perang, kebebasan dibelenggu, tetapi dalam konteks kehidupan yang dialami di luar perang--Perang Dunia dan penjajahan, hal itu bisa terjadi. Termasuk dalam hal berkesenian, atau bisa juga disebut berkarya.

Hanya saja, kini eranya sudah berbeda. Berkarya sudah menjadi hal yang lebih bebas daripada sebelumnya. Walaupun, di momen atau tempat tertentu bisa saja kebebasan berkarya masih abu-abu.

Artinya, praktik perampasan hak untuk hidup tidak hanya dalam konteks nyawa, melainkan juga dalam konteks berkarya. Karena, di sanalah pertaruhan tentang kemanusiaan juga ada.

Itulah yang sekiranya saya tangkap dari pernyataan Mas Anwari dalam menanggapi pementasan ini. Yang kemudian, mendorong saya untuk berpikir lain, yaitu tentang pesan-pesan, makna, dan diskursus yang ingin dimunculkan dari "1944 -- Lubang Gelap yang Menelan Segalanya".

Diskusi pascapentas. Dari kiri: Ekwan Wiratno (sutradara), Sindu (pembahas), dan Anang (anggota Komite Teater DKM). Sumber: Dokumentasi MASTER
Diskusi pascapentas. Dari kiri: Ekwan Wiratno (sutradara), Sindu (pembahas), dan Anang (anggota Komite Teater DKM). Sumber: Dokumentasi MASTER
Ini yang menurut saya sudah selangkah lebih maju dari perbincangan pascapentas teater dewasa ini. Kita tidak lagi "hanya" pusing dengan hal teknis terkait pementasan teater, namun juga sebaiknya memikirkan dampak dari pementasan itu secara nonteknis.

Ini juga yang kemudian saya kaitkan dengan tanggapan dari penonton lain yang membahas tentang teknik panggung, teori pementasan, khazanah teater, dan durasi pementasan. Hal-hal yang kemudian menjadi rancu, antara ini asumsi pelaku teater atau penonton yang sepenuhnya awam.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun