Bahkan, saat pementasan selesai, saya masih memperhatikan tulisan-tulisan yang ada di "dinding" panggung. Apakah pementasan ini menyuarakan suatu hal yang besar atau sebenarnya mengajak penonton untuk berpikir tentang hal-hal yang paling dekat dengan penonton masing-masing?
Rasa penasaran saya kemudian bisa dikatakan termediasikan oleh apa yang disampaikan salah seorang penonton, yang saya tahu namanya Anwari. Seorang penggiat teater dengan komunitasnya bernama Kamateatra.
Pada masa itu, hal-hal yang berbau kesenian akan mengalami penyortiran. Misalnya, buku, karya-karya fiksi, lirik lagu, dan sejenisnya.
Artinya, tidak hanya dalam hal perang, kebebasan dibelenggu, tetapi dalam konteks kehidupan yang dialami di luar perang--Perang Dunia dan penjajahan, hal itu bisa terjadi. Termasuk dalam hal berkesenian, atau bisa juga disebut berkarya.
Hanya saja, kini eranya sudah berbeda. Berkarya sudah menjadi hal yang lebih bebas daripada sebelumnya. Walaupun, di momen atau tempat tertentu bisa saja kebebasan berkarya masih abu-abu.
Artinya, praktik perampasan hak untuk hidup tidak hanya dalam konteks nyawa, melainkan juga dalam konteks berkarya. Karena, di sanalah pertaruhan tentang kemanusiaan juga ada.
Itulah yang sekiranya saya tangkap dari pernyataan Mas Anwari dalam menanggapi pementasan ini. Yang kemudian, mendorong saya untuk berpikir lain, yaitu tentang pesan-pesan, makna, dan diskursus yang ingin dimunculkan dari "1944 -- Lubang Gelap yang Menelan Segalanya".
Ini juga yang kemudian saya kaitkan dengan tanggapan dari penonton lain yang membahas tentang teknik panggung, teori pementasan, khazanah teater, dan durasi pementasan. Hal-hal yang kemudian menjadi rancu, antara ini asumsi pelaku teater atau penonton yang sepenuhnya awam.