Bukti kegaharannya bisa dilihat dari "korbannya". Aleix Espargaro, Alex Rins, Francesco Bagnaia, Maverick Vinales, hingga Jorge Martin harus tunduk oleh gaya balap Zarco yang tahu titik-titik mana dia dapat mempersulit upaya pembalap lain untuk menyalipnya.
Satu-satunya pembalap yang mampu melepaskan diri dari "partitur" yang dimainkan Zarco adalah Fabio Quartararo. Sebenarnya, ini mirip dengan "konser" sebelumnya, yang mana Vinales berhasil melepaskan diri dari Zarco dan memenangkan balapan.
Quartararo pun demikian. Ia berhasil menyalip Zarco, lalu segera menyalip Jorge Martin. Di sinilah, ia mempunyai momentum membuat jarak.
Menariknya, Zarco sangat sulit untuk disalip lagi selepas itu. Ia berusaha mati-matian mempertahankan posisi ketiga dan terus memberikan ruang kepada Jorge Martin.
Tindakan itu yang juga Zarco lakukan sejak awal. Ia membiarkan Martin sedikit berjarak, dan menahan semua pembalap yang berupaya mengejar posisi Martin.
Sebagai akhir dari upayanya membuat "orkestra", ia kemudian melakukan manuver krusial untuk mengambil posisi kedua Jorge Martin. Ia pun akhirnya berhasil finis lagi di posisi kedua seperti di seri Qatar.
Itu juga hampir mirip dengan apa yang dilakukan kompatriotnya, Fabio Quartararo di musim lalu (2020). Ia memimpin klasemen awal musim dengan dua kemenangan beruntun.
Menariknya lagi, di balapan Doha, kemenangan Quartararo dan finis keduanya Zarco menjadi momen langka di MotoGP. Karena, baru kali ini ada dua pembalap asal Prancis yang naik dua podium tertinggi sejak 1954 (67 tahun).