Mohon tunggu...
Deddy Husein Suryanto
Deddy Husein Suryanto Mohon Tunggu... Penulis - Content Writer

Penyuka Sepak Bola. Segala tulisan selalu tak luput dari kesalahan. Jika mencari tempe, silakan kunjungi: https://deddyhuseins15.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Bola Artikel Utama

Apakah Sergio Aguero Juga Overthinking?

1 April 2021   17:52 Diperbarui: 2 April 2021   02:35 581
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Mungkin, selebrasi ini bisa jadi patung di depan Etihad Stadium. Sumber: Manchester City FC via Getty Images via Premierleague.com

"Aku sudah memberikan ini".
"Aku juga sudah memberikan itu."
"Tapi, kami yang masih bertahan."

Ada yang familier dengan dialog-dialog semacam itu? Secara pribadi, saya pernah mendengar perkataan semacam itu, meskipun secara implisit (tidak sama persis). Biasanya, mereka akan muncul ketika ada situasi perpisahan.

Dialog-dialog semacam itu muncul untuk mengungkapkan bukti apa yang telah diberikan kepada tempat yang pernah ditempati. Ini juga bisa muncul karena terkadang ada perlakuan yang kurang baik dan tidak baik terhadap mereka yang akan pergi.

Ingat, tidak selamanya orang yang datang akan terus bertahan. Orang itu juga bisa pergi, bahkan juga harus pergi.

Tidak sedikit, mereka yang pergi tanpa meninggalkan jejak. Bahkan, ada yang pergi dengan banyak jejak di tempat yang pernah menaunginya.

Inilah yang kemudian, membuat orang seperti itu cenderung berusaha dipertahankan. Tetapi, mau sampai kapan?

Semua orang pasti akan ada masanya untuk pergi. Ada yang terasa lebih cepat, ada yang terasa lebih lama, ada juga yang memang sudah waktunya.

Tetapi, kemudian permasalahan lain muncul, yaitu tentang perlakuan terhadap mereka yang akan pergi. Biasanya, ini disebabkan oleh anggapan tentang mereka yang akan pergi adalah orang yang sudah tidak baik lagi terhadap tempat itu. Ini juga berlaku kepada mereka yang pergi.

Tentu ada bedanya antara orang yang akan pergi dengan orang yang pergi. Perbedaannya ada pada tanda-tanda.

Orang yang akan pergi punya petanda sebelum ia pergi. Sedangkan, orang yang pergi bisa merujuk pada orang yang tiba-tiba pergi (tanpa tanda-tanda) maupun orang yang sudah pergi (mungkin sebelumnya ada tanda-tanda).

Orang yang akan pergi biasanya akan sangat berat untuk dilepas, kalau orang itu memang sangat dibutuhkan. Tapi, sekali lagi, mau sampai kapan orang itu harus ada di situ?

Ketika orang itu tetap akan pergi, meski sudah dibujuk untuk bertahan, akhirnya membuat orang-orang di sekitarnya menjadi kecewa. Kekecewaan ini yang kemudian memunculkan perlakuan yang kurang baik dan tidak baik.

Seperti, memperlakukan orang itu menjadi seolah tidak ada. Atau, tidak lagi bersikap seperti sebelumnya (baik) terhadap orang tersebut.

Hal ini mungkin terasa sedikit wajar, jika orang yang akan pergi kurang berdampak positif terhadap tempat tersebut. Tetapi, bagaimana jika justru berdampak positif dan malah banyak?

Rasanya itu sangat tidak manusiawi. Ibaratnya, orang yang akan meninggal, tapi malah dibiarkan meregang nyawa lebih cepat. Padahal, kematian itu punya waktu tersendiri, bukan dipaksakan.

Itu juga berlaku terhadap orang yang akan pergi dari suatu tempat. Sekalipun dia akan pergi, pasti dia masih punya pikiran dan waktu terhadap tempat tersebut. Sederhananya, orang itu pasti masih peduli dengan tempat itu walau takarannya tidak sebanyak sebelumnya.

Itu yang membuat rasanya konyol, jika orang yang akan pergi malah seperti segera didorong untuk pergi. Betapa cepatnya orang membenci ketika merasa tersakiti. Padahal, belum tentu rasa sakitnya setara dengan rasa sakitnya orang yang dibenci.

Ini yang kemudian malah membuat muncul permasalahan baru bagi orang yang akan pergi, yaitu overthinking. Kalau dibahasa-indonesiakan, berpikir berlebihan.

Ilustrasi orang overthinking. Sumber: Pexels/Andrea Piacquadio
Ilustrasi orang overthinking. Sumber: Pexels/Andrea Piacquadio
Orang yang mulai diperlakukan tidak baik, berbeda dari sebelumnya, pasti akan merasakannya. Pasti juga orang itu memikirkannya. "Mengapa mereka jadi begini kepadaku?"

Orang itu pasti akan menjadi tidak nyaman. Ibarat orang pacaran yang memang mulai merenggang dan ingin putus, malah akhirnya memutuskan hubungan itu menjadi tidak baik. Padahal, niatnya ingin putus secara baik-baik, alias akan menjadi teman, bukan musuh.

Memangnya ada yang begitu?

Mungkin ada, walau tidak sebanyak orang-orang yang putus dengan "perang dunia ke sekian". Memang, "bergencatan senjata" dalam hubungan pascaharmonis yang kemudian menjadi disharmoni itu sulit.

Tetapi, bukan berarti tidak ada. Sebenarnya, awal perkaranya di perlakuan tadi. Orang ketika sudah merasa tidak cocok akan saling menyudutkan. Padahal, seharusnya mereka saling mengingat bahwa sebelumnya mereka saling berangkulan.

Ilustrasi disharmoni. Sumber: Pexels/Alex Green
Ilustrasi disharmoni. Sumber: Pexels/Alex Green
Itu juga berlaku dalam hubungan lebih luas, seperti kerja-sama tim di dalam organisasi, pekerjaan, hingga tim sepak bola. Mereka juga seharusnya tetap saling mendukung meski pada akhirnya tidak bersama lagi.

Apakah itu sulit?

Sebenarnya, kalau permasalahan perlakuan kurang baik dan tidak baik itu tidak terjadi, maka tidak akan ada orang-orang yang merasa tersakiti akibat keputusannya untuk pergi. Karena, mereka yang akan pergi juga belum tentu sudah mengetahui nasibnya. Apakah lebih baik atau malah lebih buruk.

Itu persepsi yang seharusnya juga dipikirkan mereka yang masih bertahan di tempat. Mereka harus tidak menambah beban pikir kepada orang yang akan pergi, karena orang itu juga belum tentu tenang.

Apalagi, kalau sudah menemukan zona nyaman, biasanya orang akan lebih memilih bertahan lama daripada pergi. Inilah yang membuat poin perlakuan terhadap orang yang akan pergi itu penting banget untuk diperhatikan.

Jangan sampai, malah perlakuan kepada orang yang akan pergi menjadi berubah, dari baik menjadi tidak baik. Itu akan membuat orang yang akan pergi semakin tidak nyaman dan resah secara kejiwaan.

Itu juga membuat orang yang akan pergi merasa dirinya sudah tidak penting. Padahal, bagaimana kalau ternyata ialah yang telah berjasa di tempat itu?

Ambil contoh seperti Sergio Aguero di Manchester City. Kalau bukan golnya ke gawang Queens Park Rangers pada laga 13 Mei 2012, apakah Manchester City juara dan menumpas dominasi Manchester United?

Gol dramatis Aguero ke gawang QPR di pekan terakhir musim 2011/12. Gambar: AFP/Getty Images/Alex Livesey/via Kompas.com
Gol dramatis Aguero ke gawang QPR di pekan terakhir musim 2011/12. Gambar: AFP/Getty Images/Alex Livesey/via Kompas.com
Memang, orang bisa berdalih, bahwa tim yang punya potensi untuk juara pasti akan juara pada suatu saat. Hanya saja, orang juga harus berpikir, bahwa sebuah prestasi bisa hadir jika ada awalannya.

Artinya, juaranya Manchester City di musim-musim selanjutnya itu perlu ada mentalitas yang terbangun terlebih dahulu lewat juara pada musim 2011/12 tersebut. Dari situlah, Manchester City punya mentalitas juara, ada dasar yang kuat untuk memunculkan keyakinan bahwa mereka pasti akan bisa juara lagi.

Itu sama seperti Arsenal di Piala FA. Sekalinya mereka berhasil juara, maka di musim-musim selanjutnya, mereka tahu formula untuk juara di Piala FA.

Atau, yang lebih besar, Real Madrid. Di Liga Champions, mereka adalah yang terbaik dengan koleksi juaranya yang saat itu sudah 9 kali.

Tetapi, ketika mereka belum kunjung juara, mereka tidak punya formula tepat untuk juara di musim selanjutnya. Kemudian, ketika mereka akhirnya juara di musim 2013/14, itulah yang kemudian dasar formula kedigdayaan El Real di musim-musim selanjutnya dan membuat mereka mempunyai 13 trofi "Si Kuping Besar".

Artinya, kesuksesan perlu ada pemantiknya. Jika tidak ada, maka kesuksesan itu selamanya masih menjadi harapan belaka.

Dasar itulah yang membuat Manchester City seharusnya masih memperlakukan Aguero sebagai pemain penting. Sekalipun, si pemain akhirnya tidak mempunyai opsi perpanjangan masa bakti bersama Man. City, ia tetaplah pemain yang berjasa besar untuk klub tersebut.

Saya sebenarnya memandang apa yang terjadi pada Aguero masih 50-50. Artinya, saya tidak sepenuhnya berpihak kepada si pemain.

Itu berdasarkan dua laga yang berbeda, yaitu saat laga Fulham vs Manchester City (14/3) dan laga Manchester City vs Borussia Monchengladbach (17/3). Dua laga itu mengandung persepsi yang berbeda.

Pada laga pertama, saya pikir, Aguero masih mendapatkan respek dari rekan setimnya. Itu terbukti dengan eksekusi penalti diberikan ke Aguero. Gol pada menit 60 tercipta lewat eksekusi tersebut.

Gol yang dicetak Aguero. Sumber: Pool via Reuters/Justin Setterfield/via Tempo.co
Gol yang dicetak Aguero. Sumber: Pool via Reuters/Justin Setterfield/via Tempo.co
Artinya, sekalipun secara keterlibatan bermain, Aguero mulai minim, tetapi ia masih dipercaya untuk mengeksekusi penalti. Eksekutor penalti biasanya diberikan kepada pemain yang paling dipercaya oleh tim.

Kita bisa melihatnya di Barcelona dengan Lionel Messi, di Juventus dengan Cristiano Ronaldo, Manchester United dengan Bruno Fernandes, AC Milan dengan Franck Kessie, dan sebagainya. Eksekutor penalti bisa diambil oleh penyerang, kapten, dan pemain yang ahli melakukannya.

Aguero ada di antara kategori-kategori tersebut. Ia adalah penyerang, ia juga beberapa kali sempat mengenakan ban kapten, dan merupakan pemain yang mampu mengeksekusi penalti.

Aguero main sejak awal. Sumber: Google/Premier League/Fulham vs Manchester City
Aguero main sejak awal. Sumber: Google/Premier League/Fulham vs Manchester City
Pada laga itu, ia juga bermain penuh dan menjadi kapten, karena tidak ada Fernandinho, KDB, dan Sterling. Artinya, Pep Guardiola juga masih memberikan kesempatan bermain kepada Aguero yang memang sempat lama absen akibat cedera.

Hanya saja, dalam laga di Liga Champions, Aguero terlihat kurang mendapatkan waktu bermain yang sesuai ia harapkan. Bermain di separuh babak kedua, justru tidak terlihat sebagai senjata baru bagi The Citizens.

Ia malah bagaikan pemain yang masuk di menit akhir babak kedua sebagai pengulur waktu. Artinya, si pemain tidak perlu menyentuh bola, tim sudah akan merasakan dampak keuntungannya. Padahal, seharusnya tidak semengenaskan itu.

Laga itulah yang membuat Aguero ngambek. Ini juga yang kemudian saya anggap sebagai wujud dari overthinking sekaligus menyebabkan negative thinking yang dimiliki Aguero.

Aguero galau, karena jarang dioper bola rekannya. Sumber: ESPN via Detik.com
Aguero galau, karena jarang dioper bola rekannya. Sumber: ESPN via Detik.com
Ia mulai berpikir bahwa dirinya sudah tidak dihargai rekannya. Ini juga bisa melebar ke sektor tim dan klub. Artinya, Aguero juga bisa berpikir bahwa tim yang dikomandoi Pep Guardiola bisa saja telah tidak membutuhkannya.

Kemudian pada sektor klub, apakah mereka juga akan menunjukkan indikasi tidak membutuhkan Aguero. Atau, dalam arti pentingnya adalah mereka tidak menghargai Aguero dengan beberapa indikator.

Penilaian itu bisa terlihat jika seandainya Manchester City juara. Entah, di Premier League, Piala Liga EFL, Piala FA, hingga Liga Champions.

Jika pengangkat trofi pertama bukan Aguero, maka klub sudah mempunyai salah satu indikasi tidak menghargai Aguero. Secara senioritas, Aguero lebih lama dibandingkan Kevin De Bruyne yang saat ini menyandang kapten kedua, termasuk Fernandinho yang merupakan kapten utama.

Artinya, pada momen pemberian trofi, seharusnya ban kapten dikenakan Aguero, sekalipun di pertandingan bukan dia yang menjadi kapten. Jika si pengangkat trofi adalah Aguero, maka klub masih menghargai Aguero.

Itu yang nantinya menjadi pemupus overthinking Aguero terhadap disrespek yang ia rasakan. Sudah sewajarnya Aguero pergi dan sudah sewajarnya dia masih mendapatkan respek atas apa yang pernah ia lakukan untuk Manchester City.

Jika ada pendapat bahwa Manchester City patut membuatkan patung Aguero di luar Etihad Stadium, saya sepakat. Karena, jika seorang Thierry Henry saja dibuatkan patung oleh Arsenal yang notabene torehan gol dan trofinya untuk Arsenal tidak sebanyak Aguero, maka Aguero juga pantas mendapatkannya.

Terima kasih, Aguero! Kamu telah membuat Manchester United sadar diri dan mau menganggap tetangganya memang pantas berisik.

Mungkin, selebrasi ini bisa jadi patung di depan Etihad Stadium. Sumber: Manchester City FC via Getty Images via Premierleague.com
Mungkin, selebrasi ini bisa jadi patung di depan Etihad Stadium. Sumber: Manchester City FC via Getty Images via Premierleague.com
Malang, 1 April 2021
Deddy Husein S.

Terkait: Detik.com, Kompas. com, Kompasiana.com, Goal.com.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun