Terkadang, Mi Bisa Memicu Debat Kusir

Itulah yang membuat saya juga terheran-heran. Sebenarnya, kita hidup ini kenapa sering dihadapkan pada ketidakpastian terhadap nilai dan fungsi?

Kenapa selalu ada perdebatan kalau itu menyangkut ekonomi dan kesehatan? Mengapa ketika makanan itu bernilai ekonomi rendah langsung disangkut-pautkan dengan nilai kesehatan?

Mengapa makanan yang sebenarnya sama saja tapi terlihat mewah, dianggap sebagai penunjang nilai status sosial dan melupakan nilai kesehatannya?

Salah satu mi instan yang unik karena ada dagingnya. Gambar: Dokumentasi Deddy Husein S.

Atau, sebenarnya perdebatan ini adalah cermin dari rasa ketidakpuasan manusia? Yang kaya ingin merasakan mi, namun berusaha dicari yang nilai sosialnya tinggi. Sedangkan, yang miskin ingin merasakan makan nasi, tapi yang nilai kesehatannya tinggi.

Atau, ini sebenarnya juga faktor latah? Mentang-mentang orang-orang ganteng dan cantik suka makan mi, kita ingin makan mi. Begitu?

Memangnya, makan mi yang seperti di televisi atau layar digital akan bikin kita akan dipanggil 'mas ganteng' dan 'mbak cantik'?

Menurut saya tidak. Itu seperti ketika kita makan mi di warung kopi rasanya lebih nikmat daripada makan mi bikinan sendiri.

Jadi, kalau ada orang makan mi, sebaiknya tahan mulut dan jempol untuk tidak segera menganggap orang tersebut sedang menuju "gerbang keabadian". Siapa tahu, mereka sedang ingin jadi bintang iklan mi, biar tidak perlu lagi makan mi di luar layar.

Lewat tulisan ini, saya hanya ingin bilang, "Mi itu enak. Biar aku saja yang makan, kalau lagi pengen dan butuh banget. Kalau kamu iri, bilang!"

Yuk, makan mi pangsit! Gambar: Dokumentasi Deddy Husein S.

Malang, 29 Maret 2021
Deddy Husein S.

Terkait: Bisnis.com, Detik.com, Beautynesia.id, Kompas.com 1, Kompas.com 2, Kompas.com 3, Klikdokter.com, Suara.com, Doktersehat.com.