Mohon tunggu...
Deddy Husein Suryanto
Deddy Husein Suryanto Mohon Tunggu... Penulis - Content Writer

Penyuka Sepak Bola. Segala tulisan selalu tak luput dari kesalahan. Jika mencari tempe, silakan kunjungi: https://deddyhuseins15.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

"ENTAH" dan Teater Daring

28 Maret 2021   20:25 Diperbarui: 28 Maret 2021   20:43 529
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Jumat, 26 Maret 2021, saya mendapatkan kesempatan untuk menyaksikan pementasan teater. Pementasan ini dipersembahkan oleh Teater Pribumi, sebuah komunitas teater asal Tuban. Naskah yang dipentaskan berjudul "ENTAH", karya Ekwan Wiratno, dan disutradarai oleh Siswandi.

Akibat masih adanya pandemi, pementasannya harus disaksikan secara daring. Selain itu, secara kemasan, memang ada unsur berbeda dari pertunjukan teater yang biasanya hanya didokumentasikan lewat video. Sedangkan, pementasan ini justru dikemas sedikit mirip film.

Hanya saja, sudahkah pementasan ini bisa disebut pementasan teater? Apakah ini yang bisa menjadi siasat dari kehidupan teater saat pandemi?

Saya ingin mengulasnya setahap demi setahap, sesuai dengan apa yang dapat saya tangkap saat menonton "ENTAH". Namun, patut diperhatikan, bahwa tulisan ini akan banyak menyingkap spoiler tentang pementasannya. Jadi, bacalah dengan bijak!

Pembahasan pertama saya awali lewat 'kegumunan' tentang keberadaan soundtrack dalam teater. Seiring berjalannya waktu, saya makin tidak asing dengan keberadaan soundtrack dalam teater.

Ada beberapa faktor yang melandasinya. Faktor pertama, saya pernah menyaksikan pementasan teater yang pernah digelar oleh salah satu teater di Universitas Brawijaya, Malang.

Seingat saya, teater itu bernama Teater Kertas. Dalam beberapa kesempatan, saya melihat mereka dapat menghadirkan lagu yang biasanya muncul di akhir pementasan.

Faktor kedua, teater juga dapat dikemas secara kolosal, alias beramai-ramai. Saat seperti ini, keberadaan musik dan lagu bisa menjadi bagian penting.

Soal bagus atau tidaknya, saya tidak akan membahasnya kali ini. Namun, saya ingin mengatakan bahwa musik dan lagu dalam pementasan teater bukan hal yang baru banget dan aneh. Keberadaan soundtrack juga merupakan hasil dari eksistensi dan perkembangan teater.

Faktor ketiga, teater memiliki keterlibatan beberapa aspek di dalamnya, salah satunya adalah tata bunyi. Tata bunyi ini tidak hanya berwujud bunyi/suara efek pembangun situasi dan suasana, tetapi juga bisa menghadirkan cabang populer, yaitu musik dan lagu.

Jika orang-orang di dalam teater tersebut menguasai bidang itu, mengapa tidak menghasilkan musik dan lagu khusus untuk pertunjukan teater?

Inilah yang memunculkan faktor keempat, yaitu keberadaan talenta penggarap musik di komunitas teater. Dalam beberapa kesempatan, saya melihat beberapa komunitas teater mulai akrab dengan keberadaan anggota-anggota yang memang mahir bermain musik.

Ketika melihat potensi itu, jelas, tidak ada sutradara teater yang ingin menyia-nyiakannya. Menurut saya, itu langkah cerdas dan wajar.

Itu juga akan membuat teater tidak hanya dikenal sebagai penghasil aktor-aktor hebat yang nantinya menjadi tulang punggung jagat perfilman. Teater juga bisa menjadi wahana berkarya para musisi.

Sampul lagu / Youtube/ARTmediaNET
Sampul lagu / Youtube/ARTmediaNET
Artinya, keberadaan soundtrack "Terbelenggu" karya Andre Kurniawan dalam pementasan "ENTAH" menurut saya bukan suatu kejutan. Ini adalah langkah tepat untuk membuat pementasan ini dapat menarik perhatian bagi mereka yang belum begitu familier dengan pertunjukan teater.

Kalau aplikasi berjoget-joget saja tidak ingin melepaskan diri dari musik, maka teater juga harus begitu. Teater harus merangkul musik dengan erat untuk menggaet penonton serta calon penonton teater dari segala lapisan, agar penontonnya tidak hanya berkutat pada pertemanan belaka. Harapannya begitu.

Pembahasan kedua adalah tentang keberadaan teknik sinematografi dalam pementasan "ENTAH". Secara pribadi, saya tidak memperdebatkan hal ini.

Alasannya, saya sudah menonton trailer-nya terlebih dahulu. Saya juga menonton video klip lagu "Terbelenggu". Maka, saya sudah punya sedikit bayangan, bahwa pementasan ini tidak hanya merekam adegan, tetapi juga menggunakan teknik pengambilan gambar ala film.

Alasan lain, setelah saya menonton pementasan tersebut, saya tidak merasa banyak terganggu. Termasuk dalam hal kekhawatiran penonton terhadap 'perasaan'.

Biasanya, penonton teater mampu merasakan kelekatan terhadap cerita dikarenakan dapat mengeksplorasi seluruh adegan di panggung. Aktor, tempat, suasana, dan pergerakan dapat dilihat dengan bebas.

Itu yang membuat penonton teater dapat menangkap 'perasaan' terhadap pementasan. Bagaimana dengan saya?

Sejauh saya menonton teater, tidak semua pementasan dapat menggugah 'perasaan'. Faktornya macam-macam. Bisa karena kisah yang diangkat, kejelasan vokal aktor, atau jarak antara panggung dengan tempat saya menonton.

Semakin jauh, makin banyak yang saya lihat. Seperti, melihat penonton lain yang sedang bosan atau memang sebenarnya tidak ingin menonton pertunjukan lalu asyik bermedia sosial. Atau, saya lebih sering memperhatikan dekorasi panggung, jatuhnya cahaya, dan sejenisnya.

Artinya, saya cenderung membangun imajinasi sendiri ketika semakin banyak yang saya lihat. Bahkan, ketika ada aktor yang pasif, justru itulah yang saya perhatikan. Aneh?

Sepertinya tidak. Karena, memang ini mungkin dilakukan ketika melihat pertunjukan secara langsung di panggung.

Ini seperti ketika menonton konser musik. Orang-orang yang berjingkrak-jingkrak di bawah panggung belum tentu terus memperhatikan vokalisnya, pasti pemain drum dan bass juga sempat dilihat dan bahkan diperhatikan.

Pada satu sisi, itu membuat kita sebagai penonton bisa bebas mengeksplorasi apa yang disajikan. Tetapi, bagaimana dengan kelekatan terhadap adegan dan kisahnya?

Secara pribadi, saya masih menganggap film lebih mampu menggugah 'perasaan' saya, sekalipun terkadang ceritanya sudah tidak spesial (mainstream). Tetapi, terkadang kekuatan kamera bisa membuat saya seolah dekat dengan tokohnya.

Sebelum merasa lekat, kita perlu dekat dulu. Logika sederhananya begitu. Itulah yang kemudian saya tangkap saat menonton "ENTAH".

Saya seperti dekat dengan seluruh tokohnya, apalagi dengan si TUAN. Adegan-adegannya cukup kuat, dan mampu membuat saya mengandaikan bahwa referensi aktornya adalah Joker. Mungkin.

Berdasarkan kedekatan itu, saya kemudian mulai cukup lekat dengan jalan ceritanya. Sedikit hanyut, karena saya juga merasa kesal dengan adegan antara NYONYA dan KAWAN.

Adegan lain yang ada di trailer / Youtube/ARTmediaNET
Adegan lain yang ada di trailer / Youtube/ARTmediaNET
"Ini takbisa dibiarkan!" Persis seperti yang dibayangkan oleh TUAN terhadap keduanya.

Artinya, dengan keberadaan teknik sinematografi, saya tidak kehilangan 'perasaan' terhadap pementasan ini. Saya juga tidak merasa bahwa teknik ini akan mengancam eksistensi teater.

Selama ada porsi yang cukup besar dimiliki oleh teater, maka pertunjukan seperti "ENTAH" masih layak disebut 'teater' bukan 'film'. Hanya saja, bagaimana cara agar dapat menilainya demikian?

Secara mudah, saya memperhatikan beberapa unsur terkuat yang dimiliki teater dalam pementasan ini. Unsur ini adalah desain panggung dan pencahayaan.

Desain panggung mempunyai pembentukan terhadap dua hal. Pertama adalah penempatan aktor dan benda (blocking). Kedua, logika ruang.

Hanya di dalam teater kita sebagai penonton berkesempatan untuk memperhatikan blocking dan logika ruang secara eksplisit maupun implisit. Di dalam film, penempatan aktor dan benda sudah diabaikan penonton, karena kamera sudah berhasil mengaturnya dengan tepat.

Sedangkan, di teater hal itu terkadang masih menjadi perdebatan di benak penonton. Inilah yang membuat pementasan teater masih menarik, karena memancing nalar untuk menduga-duga apakah penempatan aktor dan benda tepat atau tidak. Termasuk, apakah penempatan itu punya maksud tertentu atau tidak.

Selain itu, di dalam teater ada penggunaan logika ruang. Seringkali, saya menonton pementasan teater tidak sepenuhnya menggunakan properti solid untuk menunjukkan tempat adegan.

Properti solid yang saya maksud seperti pembuatan ruang berbentuk kamar yang hampir mendekati kamar sesungguhnya. Seperti ada tembok, pintu, dan sebagainya.

Jika di film, kita menemukan ini. Adegan di dalam rumah, maka gambar yang ditampilkan 100 persen rumah. Adegan di kamar, maka gambar yang ditampilkan 100 persen juga kamar.

Ini yang jarang terjadi dalam teater. Saya sebut jarang, karena sebenarnya juga ada pementasan teater yang berupaya menghadirkan segalanya tampak sesuai realita.

Namun, ketika hal itu takterjadi, maka yang dilakukan adalah penggunaan logika ruang. Logika ruang inilah yang membuat aktor dan penonton dapat berupaya masuk ke dalam pementasan dan mengimajinasikan apa yang ada di dalam panggung.

Inilah yang membuat saya masih menganggap "ENTAH" masih bisa disebut pementasan teater. Mereka masih menggunakan logika ruang, walau dengan sedikit catatan. Catatan ini akan saya sampaikan nanti.

Setelah unsur desain panggung, maka kita perlu sedikit mengulik bagian unsur pencahayaan. Pada sisi inilah teater bisa disebut berbeda dengan film.

Teknik pencahayaan di dalam teater cukup berbeda dengan film. Saya sebut cukup berbeda, karena terkadang ini juga perlu melihat apa aliran yang diusung pementasan teater. Kalau di film, kita akan familier dengan istilah genre.

Sebenarnya, aliran dan genre dalam teater bisa disebut berbeda perwujudannya. Karena, aliran lebih dekat dalam teknik mewujudkan pementasan. Sedangkan genre lebih dekat pada bentuk ceritanya (genre lakon).

Keduanya bisa ditelaah secara berbeda. Namun, juga bisa dibaurkan dalam pementasan. Faktor penyambungnya adalah naskah dan konsep yang diinginkan sutradara.

Jika keduanya bisa dibaurkan, maka aliran dan genre hampir tidak ada bedanya. Itulah yang kemudian membuat teater masih memiliki perbedaan dibandingkan film, jika digali lebih dalam.

Salah satu cara untuk mengetahui hal semacam ini adalah lewat pencahayaan. Apakah pencahayaannya hanya menjalankan fungsi hakikatnya sebagai penerang, atau pendukung suasana yang biasanya digunakan pertunjukan 'aliran realis'.

Biasanya, pencahayaan yang dapat menjalankan fungsinya sebagai pendukung suasana (eksternal/internal tokoh) akan identik dengan permainan intensitas cahaya dan permainan warna cahaya. Jika tidak demikian, maka pencahayaan itu lebih fokus menjadi penerang.

Keduanya bukan masalah yang besar, selama penonton masih nyaman dan masih mengerti apa fungsi pencahayaan di dalam teater. Minimal, tahu kalau ada cahaya yang menyorot suatu tempat, maka di situlah ada adegan yang perlu diperhatikan.

Begitu juga sebaliknya, kalau pencahayaan tidak "masuk" maka itu bisa disebut wilayah kosong/mati. Pada sisi ini pun sebenarnya saya memiliki sedikit ganjalan terhadap pementasan "ENTAH". Namun, sekali lagi, akan saya sampaikan nanti.

Intinya, pada bagian ini saya masih menemukan ciri-ciri khas teater yang masih dipertahankan oleh Teater Pribumi untuk mementaskan "ENTAH". Sebagai penonton awam, saya menganggap ini masih layak disebut teater.

Teknik sinematografi yang muncul dalam pementasan ini menurut saya justru menjadi formula yang cukup baik untuk mengantarkan kisah yang sebenarnya menuntut kita berpikir lebih jauh. Seandainya tidak ada teknik sinematografi, adegan "intim" antara TUAN dan NYONYA tidak akan membuat saya cukup bersimpati kepada NYONYA.

Begitu pula dengan bagian akhir (ending). Itu terlihat menjadi sisi kelebihan dari teknik sinematografi. Sekalipun, saya berpikir di panggung konvensional, adegan itu bisa dilakukan walau tidak sehalus itu.

Artinya, dua bidang ini, teater dan sinematografi bisa berjalan bersama. Lagipula, selama ini kita telah melihat alumnus teater bermain film.

Jadi, kenapa harus memperdebatkan sajian antara film dengan teater, kalau keduanya masih bisa bersinergi. Hanya saja, tetap pada catatan sebelumnya, yaitu jika pertunjukan ini masih beratasnama teater, maka porsinya harus masih besar dan mudah dideteksi oleh penonton.

Sekarang, saya akan mengajak pembaca melangkah ke pembahasan ketiga, yaitu tentang pementasan dengan naskah "ENTAH". Apakah ada misi khusus dengan naskah tersebut? ....

Masih dipantau oleh TUAN. Gambar: Dok. Entah/Teater Pribumi/Artmedianet
Masih dipantau oleh TUAN. Gambar: Dok. Entah/Teater Pribumi/Artmedianet
Malang, 27 Maret 2021
Deddy Husein S.

(Ulasan ini akan berlanjut ke artikel selanjutnya, karena faktor jumlah halaman yang sangat banyak. Terima kasih telah berkenan membacanya sampai tuntas.)

Referensi yang dapat dibaca:
PEMENTASAN TEATER SEBAGAI SUATU SISTEM PENANDAAN,
8 Elemen Genre Drama dalam Karya Teater,
Gaya Pementasan Drama Teater: Representasional dan Presentasional,
Menuju Teater Post-Realis,
Teater yang difilmkan dan Sinematografi/KONSEP 'MODEL' DALAM SINEMATOGRAFI ROBERT BRESSON,
15 Komposisi dalam Sinematografi -- Pengertian dan Penjelasannya,
KAJIAN RUANG DAN CAHAYA SEBAGAI TANDA PADA PERISTIWA TEATER REALIS,
JURNAL EKSPRESI SENI: Jurnal Ilmu Pengetahuan dan Karya Seni.

Tulisan saya lain tentang teater:

Grafito dan Teater Cowboy

Gedung Kesenian Gajayana Malang dan Panggung Teater

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun