Mohon tunggu...
Deddy Husein Suryanto
Deddy Husein Suryanto Mohon Tunggu... Penulis - Content Writer

Penyuka Sepak Bola. Segala tulisan selalu tak luput dari kesalahan. Jika mencari tempe, silakan kunjungi: https://deddyhuseins15.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Bola Pilihan

Liverpool dan Arsenal Berada di Antara Skenario Ideal dan Rasional

17 Maret 2021   15:07 Diperbarui: 17 Maret 2021   15:12 398
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Membicarakan sepak bola secara mudah biasanya akan menilik pada situasi terkini di Premier League. Maklum, klub besar dan familier bertebaran di sana.

Membicarakan Premier League juga bisa dikatakan seru. Karena, ketika ada obrolan tentang siapa yang akan juara, banyak kepala berusaha berpikir tentang siapa yang akan juara.

Ini berbeda dengan liga lain, yang cenderung lebih mudah untuk ditemukan akhir perbincangannya. Bahkan, ada yang bisa membuat hipotesis sebagai kesimpulan. Seperti, "Ligue 1 akan PSG pada akhirnya" atau "Bundesliga akan Bayern (Munchen) pada akhirnya".

Bagaimana dengan Premier League?

Sebenarnya, kita bisa mengatakan, "Premier League akan Pep pada akhirnya". Tetapi, ketika Liverpool mampu menjuarai Premier League 2019/20, kita mulai berpikir bahwa akan ada duel sengit antara Pep Guardiola dengan Jurgen Klopp untuk mengantarkan tim asuhannya menjadi yang terbaik di liga.

Namun, sayangnya, Liverpool mendapatkan banyak drama. Virgil van Dijk yang cedera parah. Alisson Becker sempat tidak bugar. Kehadiran Thiago yang ternyata mengubah gaya bermain Liverpool. Hingga, yang paling menyita perhatian adalah konektivitas Mo Salah dengan Mane yang berkurang.

Kompilasi drama itu membuat Liverpool yang awalnya terlihat akan menjadi pesaing kuat juara Premier League perlahan nan pasti, merosot. Mereka mulai tidak bisa menandingi rival beratnya dalam memburu rekor trofi liga terbanyak, Manchester United.

Nahasnya, saat Liverpool limbung, rival teraktualnya, Manchester City berhasil bangkit. Mereka yang awalnya terlihat akan keteteran akibat absennya Sergio Aguero sebagai andalan mencetak gol, rupanya mampu menemukan cara jitu untuk mengatasi masalah tersebut.

Hasilnya, permasalahan produktivitas gol teratasi. Manchester City kemudian melejit, dan bahkan bisa dikatakan sudah lolos dari jangkauan para pesaingnya. Kita pun bisa mengatakan, "Selamat mengangkat trofi Premier League lagi, Pep!"

Jika trofi Premier League sudah jauh dari jangkauan Liverpool, maka Liverpool harus memikirkan hal lain, yaitu posisi empat besar. Mereka harus ada di sana, agar dapat mengisi satu jatah di fase grup Liga Champions musim selanjutnya, 2021/22.

Hanya saja, dalam perebutan posisi empat besar ini juga terdapat banyak rintangan. Pesaingnya tidak hanya 3-4 klub, melainkan lebih dari itu.

Mereka adalah Manchester United (2), Leicester City (3), Chelsea (4), West Ham (5), Everton (7), Tottenham Hotspur (8), Aston Villa (9), bahkan jnga Arsenal (10). Ada 8 klub yang sedang berlomba menuju 4 besar.

Perebutan jatah ke Eropa sangat sengit. Gambar: Google/Premier League
Perebutan jatah ke Eropa sangat sengit. Gambar: Google/Premier League
Secara matematis, posisi empat besar masih bisa diperebutkan hingga klub yang menghuni 10 besar, yaitu Arsenal. Saat ini, jarak Chelsea yang menghuni posisi keempat dengan Arsenal adalah 10 poin.

Artinya, ada 4 laga krusial yang bisa menentukan apakah Chelsea akan terpeleset dan Arsenal mampu memanfaatkannya dengan kemenangan seratus persen. Jika Arsenal terlihat sedikit mustahil, maka peluang cukup terbuka masih dimiliki Liverpool.

Jordan Henderson dkk. hanya berjarak 5 poin dengan Chelsea. Maka, peluang untuk bisa mengisi posisi empat besar dan lolos ke fase grup Liga Champions terbuka.

Tetapi, bagaimana jika tidak?

Liverpool harus mencari cara lain. Cara yang bisa disebut rasional, tetapi tidak ideal.

Secara rasional, Liverpool masih mungkin untuk juara Liga Champions musim ini (2020/21) dibandingkan mengamankan 4 besar Premier League. Alasannya, secara kuantitas, Liverpool tidak akan dihadapkan pada banyak klub di Liga Champions.

Mereka sudah mengamankan tiket 8 besar yang juga disebut perempat final. Artinya, di Liga Champions, mereka "tinggal" memiliki jatah bermain 5 kali. Dua kali laga perempat final, dua kali laga semifinal, dan sekali final.

Hitung-hitungannya pun sedikit diuntungkan, karena Liverpool tidak harus menang untuk mengamankan "tiket" menuju ke final. Mereka bisa menggunakan strategi gol tandang, jika mereka bertindak sebagai tim tamu di laga pertama.

Artinya, jika di laga kedua menjadi tuan rumah, mereka bisa bermain lebih aman. Minimal tetap mencetak gol untuk menjauhkan agregat. Menang, jelas lebih baik.

Selain itu, sekalipun lawan-lawannya adalah yang terbaik di masing-masing liga di Eropa, ada kemungkinan mereka bisa mendapatkan lawan yang tidak sepenuhnya maksimal di dua laga dalam satu fase. Ambil contoh, jika mereka melawan PSG, maka mereka akan menemukan permainan yang cenderung meledak di situasi tertentu saja.

Jika melihat dua pertandingan PSG di babak 16 besar melawan FC Barcelona, di sana terlihat bagaimana permainan PSG cenderung kurang percaya diri dalam mengintimidasi lawan. Memang, mereka telah menggunakan strategi yang tepat. Tetapi, itu akan menjadi bumerang jika lawannya sekelas Bayern Munchen.

Bayern Munchen sekalipun tangguh di segala lini, terkadang mereka tidak segan untuk bermain bertahan. Saat seperti ini, PSG seharusnya bisa bermain dominan.

Lalu, bagaimana jika lawan PSG adalah Liverpool?

Di sinilah letak keunikan laga ini, seandainya terjadi. Sekalipun Liverpool terlihat takberdaya di Premier League, mereka justru sangat taktis saat bermain di Liga Champions.

Bahkan, mereka juga cenderung sulit dijebol gawangnya dan tidak terlalu kesulitan dalam mencetak gol. Terbukti, ada 10 gol yang mampu mereka ciptakan di fase grup.

Itu hanya berbeda 1 gol dengan Real Madrid, 2 gol dengan Borussia Dortmund, dan tentunya berbeda 1 gol juga dengan PSG. Artinya, Liverpool tidak ada masalah dalam mencetak gol, apalagi di fase 16 besar, mereka juga mampu melesakkan 4 gol ke gawang lawan.

Artinya, gawang PSG juga bisa dijebol oleh Liverpool, dan Liverpool bisa lolos ke fase selanjutnya, semifinal. Di semifinal, kemungkinan lawannya adalah Manchester City, Bayern Munchen, dan Borussia Dortmund (lengkapnya akan dibahas di artikel selanjutnya).

Di antara lawan itu, yang tersulit adalah Bayern Munchen, dan kedua Manchester City. Kalau ternyata tidak melawan keduanya, berarti salah satu di antara dua klub itu akan dihadapi di final idaman.

Jika Liverpool berhasil lolos ke final, kemungkinannya akan bertemu antara Bayern Munchen atau Manchester City. Dan, jika berbicara tentang final, semua tim pasti akan berusaha sekuat tenaga untuk memenangkan pertandingan.

Sekalipun, Liverpool tidak menjadi favorit, mereka tetap harus diwaspadai. Skuad juara Liga Champions 2018/19 masih ada di sana. Pelatihnya pun sama.

Jadi, secara rasional, Liverpool juga bisa juara. Kalau, Liverpool juara, maka otomatis mereka akan kembali bertarung di Liga Champions musim selanjutnya, dan tentunya kembali mencoba menjadi yang terbaik di dunia lewat Piala Dunia Antarklub.

Membaca ulasan skenario Liverpool ke Liga Champions lewat sisi rasional memang terlihat susah-susah gampang. Sedangkan, kalau membicarakan sisi idealnya, jalan Liverpool akan cenderung gampang-gampang susah.

Rincian singkatnya begini. Liverpool bisa lolos ke Liga Champions harus berpatokan pada kualitas. Kualitas ini terdapat di tim Liverpool sendiri, alias kualitas internal. Jika mereka mampu mengangkat kualitas internalnya untuk menghadapi 9 laga penting di Premier League (saat tulisan ini dibuat), maka mereka bisa mengamankan satu tiket ke Liga Champions.

Hanya saja, dari 9 laga penting itu, ada 3 laga yang bisa menjadi penentu keberhasilan mereka untuk menggusur Chelsea dari peringkat empat, atau sebaliknya. Artinya, cara ini masih sulit untuk menjamin Liverpool kembali pentas di Liga Champions.

Secara kualitas, mereka memang bisa, entah kualitas internal atau eksternal--berdasarkan kualitas tim lain. Tetapi, untuk kuantitas, ketersediaan fokus tim untuk menghadapi lawan-lawan yang juga ingin bersaing ke Eropa dan/atau menyelamatkan diri dari jurang degradasi, juga patut diperhatikan.

Tentu, semua skenario ini hanya bisa diwujudkan berdasarkan pilihan dan skenario tersendiri dari Klopp dan timnya. Tetapi, sebaiknya Liverpool bisa memilih, apakah ingin menggunakan jalur ideal, atau rasional, yang secara sekilas tampak beda tipis.

Setelah membahas skenario tentang Liverpool, maka kurang lengkap jika tidak membahas Arsenal, yang secara hitung-hitungan nasibnya setali-tiga uang dengan Liverpool. Bedanya, mereka lebih realistis untuk membicarakan peluang pentas lagi di Liga Europa, alih-alih Liga Champions.

Hanya saja, secara rasional, Arsenal bisa tampil di Liga Champions musim 2021/22 jika mereka berhasil juara Liga Europa musim ini (2020/21). Apakah itu muluk?

Skenario rasional ini memang bisa disebut muluk, maka dari itu disebut rasional. Selama masih bisa dipikirkan dan direncanakan, maka itu rasional. Tetapi, skenario itu bisa dikatakan muluk, karena tidak memedulikan sisi ideal, yaitu mengukur faktor kualitas.

Di dalam skenario rasional yang muluk ini, faktor yang dipentingkan adalah kuantitas. Selain jumlah laga yang harus dilalui Arsenal, juga jumlah ketersediaan pemain untuk mengarungi Liga Europa yang bisa disebut sedikit berbeda dibandingkan saat berlaga di Premier League.

Saat berlaga di Liga Europa, Mikel Arteta (pelatih Arsenal) bisa bereksperimen lewat penurunan pemain-pemain tertentu yang jarang dimainkan di Premier League. Sekalipun di pos-pos tertentu ada pemain-pemain senior, tetapi Arteta jelas tidak mungkin mengabaikan pemain-pemain yang telah berjasa selama di fase grup.

Itu yang sedikit berbeda dengan di Premier League, yang mengharuskan Arteta jauh lebih jeli, agar Arsenal tidak kalah lagi di sisa 10 laga terakhir (saat tulisan ini dibuat). Bahkan, kita juga tidak bisa menutup mata, terkait andil besar pertandingan di Liga Europa untuk perkembangan taktik dan pemanfaatan skuad Arsenal ketika bermain di Premier League.

Kepercayaan diri Arsenal sebagian besar tertopang oleh hasil laga di Liga Europa. Itulah mengapa, skenario rasional yang menghasilkan misi juara Liga Europa bisa dikatakan harus dicoba Arsenal.

Namun, jika mereka tidak ingin terlihat mengorbankan Premier League, maka mereka harus menggunakan cara ideal, yang sayangnya di sini justru bisa disebut susah-susah gampang, berkebalikan dengan Liverpool.

Faktornya, karena lawan yang dihadapi Arsenal berada di momen sengit. West Ham (21/3) dan Liverpool (4/4) sama-sama bersaing untuk tiket Eropa. Sedangkan, Sheffield United (12/4) dan Fulham (17/4) sedang berupaya keras keluar dari jurang degradasi.

Lawan-lawan Arsenal di Premier League cenderung 'tricky'. Gambar: Google/Arsenal
Lawan-lawan Arsenal di Premier League cenderung 'tricky'. Gambar: Google/Arsenal
Jika Arsenal terpeleset di antara 4 laga ini, misi ke Eropa bisa semakin mengecil. Penyebabnya adalah banyaknya tim yang bersaing untuk ke Eropa, dan Arsenal sudah telanjur banyak membuang poin di separuh awal musim.

Itu yang membuat Arsenal bisa dikatakan susah menjalani skenario ideal, walau bagi banyak orang itu masih mungkin daripada menjuarai Liga Europa. Tetapi, kita juga harus ingat, bahwa Arsenal pernah berada di final kompetisi tersebut, tepatnya pada musim 2018/19.

Pengalaman itu juga bisa dikatakan sedikit 11-12 dengan Liverpool, karena skuadnya juga masih banyak yang bertahan di Arsenal. Bedanya, mereka gagal juara di final tersebut dan tidak dilatih oleh Mikel Arteta.

Sedangkan, di musim ini Arsenal dilatih Arteta, yang kita sudah tahu, cukup bisa membuat timnya sangat solid di partai hidup-mati. Seperti, di final Piala FA 2019/20. Jika di final itu, Arsenal bisa angkat trofi, mengapa tidak untuk final Liga Europa?

Melihat dua skenario itu (rasional dan ideal), rasanya Arsenal bisa tinggal pilih, mau yang mana. Tetapi, Arteta bersama timnya tentu punya skenario tersendiri yang mungkin lebih efektif dan lebih siap untuk mereka terapkan.

Hanya saja, tulisan ini berusaha mengakomodasi harapan terkait dua klub besar Premier League tersebut untuk tidak absen di kompetisi Eropa musim depan. Rasanya terlihat ganjil, kalau tidak melihat dua jersey merah tampil di kompetisi 'tengah pekan' itu.

Bagaimana kalau menurut pembaca?

Malang, 17 Maret 2021
Deddy Husein S.

Terkait: Goal.com, Detik.com, Bola.net, Bola.com, Detik.com 2, Detik.com 3, Bola.net 2.

Baca juga: Ketika Manchester City Hampir Dilupakan

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun