Tetapi, Sadio Mane juga tidak bisa dinomorduakan. Karena, dia juga merupakan pemain tajam yang tidak hanya mampu mencetak gol, tetapi juga mampu mengkreasikan peluang.
Awalnya, saya melihat Mane dan Salah adalah dua pemain yang saling bahu-membahu dengan dilengkapi oleh Roberto Firmino. Tetapi, pada musim ini, keharmonisan itu seperti pecah. Tidak lagi hanya retak.
Apakah itu berlebihan?
Menurut saya, tidak. Karena, melihat cara bermain Mane yang cenderung memaksakan diri menyelesaikan peluang yang hendak ia ciptakan, itu seperti pemandangan langka nan lucu.
Itu tidak hanya baru terjadi pada laga Liverpool vs Chelsea (5/3), yang kemudian dikomentari oleh Michael Owen. Tetapi, juga sudah terlihat dalam laga besar lainnya, yang mempertemukan Liverpool dengan Manchester United di Anfield (17/1).
Berdasarkan hal itu, saya kemudian berpikir bahwa permasalahan terkait 'siapa yang terbaik' di Liverpool sepertinya belum terselesaikan. Terbukti, kejadiannya terulang di laga melawan Chelsea.
Klopp yang menurut saya bagaikan "Semarnya" Liverpool sepertinya belum mampu mendudukkan Mane dengan Salah. Sekalipun sudah, keduanya sepertinya tetap melanjutkan "perang dingin" di atas lapangan.
Sebenarnya, tidak ada asap jika tidak ada api. Apa yang terjadi pada dua pemain itu pasti ada penyebabnya. Tidak mungkin sosok militan seperti Mane kemudian sekonyong-konyong menjadi sosok yang arogan dan tidak bijaksana.
Sebenarnya, dirunut jejaknya, apa yang dilakukan Mo Salah sudah ada sejak Liverpool berkampanye menuju gelar juara liga musim sebelumnya. Tetapi, Klopp menganggap keegoisan dan memaksakan diri untuk mencetak gol yang dilakukan Salah adalah wajar.
Apa yang dikatakan Klopp memang ada benarnya. Seorang penyerang memang tugasnya mencetak gol. Tetapi, perlu diingat pula bahwa Salah bukan Robert Lewandowski atau Zlatan Ibrahimovic, bahkan juga Erling Haaland.