Mohon tunggu...
Deddy Husein Suryanto
Deddy Husein Suryanto Mohon Tunggu... Penulis - Content Writer

Penyuka Sepak Bola. Segala tulisan selalu tak luput dari kesalahan. Jika mencari tempe, silakan kunjungi: https://deddyhuseins15.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Bola Pilihan

Liverpool bukan Real Madrid

9 Maret 2021   00:07 Diperbarui: 9 Maret 2021   00:39 642
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dari kiri: Mane, Salah, dan Firmino. Gambar: AFP/Phil Noble via Kompas.com

Cepat atau lambat sesuatu yang manis bisa menjadi hambar, bahkan pahit. Seperti saat kita mengunyah permen karet. Awalnya manis, semakin lama semakin tidak berasa, dan akhirnya harus dibuang.

Analogi ini tidak hanya berlaku untuk hubungan percintaan, penyebab ghosting, dan sebagainya. Penggambaran ini juga bisa digunakan untuk melihat apa yang terjadi pada sepak bola, khususnya pada sebuah klub.

Saya mengajak pembaca "terbang" ke Anfield Stadium, markas klub juara Premier League 2019/20, Liverpool FC. Ada apa di sana?

Ada kisah menarik tentang sebuah klub yang telah berupaya mengakhiri dahaga gelar liga selama 30 tahun. Bayangkan, siapa yang sanggup hidup tanpa minum air selama itu?

Gelar juara bagi klub juga seperti air. Menyegarkan, melegakan, bahkan juga memabukkan.

Siapa yang berhasil juara, mereka akan bersukacita. Siapa yang juara, mereka akan bangga. Dan, siapa yang juara, mereka dapat duduk santai.

Tiga hal yang wajar dialami oleh setiap klub yang berhasil mencapai tujuan akhir paling maksimal. Mereka berhak berpesta dan mengagungkan diri atas hasil jerih payahnya.

Namun, ada satu hal yang dapat merusak nilai dari keberhasilan itu, yaitu duduk terlalu lama. Duduk terlalu lama ini berawal dari rasa santai yang melenakan dan ini bisa disimbolkan sebagai pengagungan diri.

Ada yang mengagungkan diri sebagai raja, ratu, permaisuri, hingga panglima. Ini juga bisa dialami oleh pesepak bola yang kemudian mengagungkan dirinya sebagai yang terbaik di klubnya, bahkan di kompetisi.

Ini yang kemudian saya lihat di Liverpool. Mereka yang berhasil juara kemudian lambat-laun menumbuhkan rasa pengagungan diri di dalam pemainnya.

Secara langsung, saya membidik dua nama, Sadio Mane dan Mohamed Salah. Nama terakhir memang layak disebut terbaik, karena dia musim ini (2020/21) juga masih menjadi pencetak gol terbanyak klub dan liga.

Tetapi, Sadio Mane juga tidak bisa dinomorduakan. Karena, dia juga merupakan pemain tajam yang tidak hanya mampu mencetak gol, tetapi juga mampu mengkreasikan peluang.

Awalnya, saya melihat Mane dan Salah adalah dua pemain yang saling bahu-membahu dengan dilengkapi oleh Roberto Firmino. Tetapi, pada musim ini, keharmonisan itu seperti pecah. Tidak lagi hanya retak.

Apakah itu berlebihan?

Menurut saya, tidak. Karena, melihat cara bermain Mane yang cenderung memaksakan diri menyelesaikan peluang yang hendak ia ciptakan, itu seperti pemandangan langka nan lucu.

Itu tidak hanya baru terjadi pada laga Liverpool vs Chelsea (5/3), yang kemudian dikomentari oleh Michael Owen. Tetapi, juga sudah terlihat dalam laga besar lainnya, yang mempertemukan Liverpool dengan Manchester United di Anfield (17/1).

Berdasarkan hal itu, saya kemudian berpikir bahwa permasalahan terkait 'siapa yang terbaik' di Liverpool sepertinya belum terselesaikan. Terbukti, kejadiannya terulang di laga melawan Chelsea.

Klopp yang menurut saya bagaikan "Semarnya" Liverpool sepertinya belum mampu mendudukkan Mane dengan Salah. Sekalipun sudah, keduanya sepertinya tetap melanjutkan "perang dingin" di atas lapangan.

Sebenarnya, tidak ada asap jika tidak ada api. Apa yang terjadi pada dua pemain itu pasti ada penyebabnya. Tidak mungkin sosok militan seperti Mane kemudian sekonyong-konyong menjadi sosok yang arogan dan tidak bijaksana.

Mane kini sering berlebihan dalam beraksi individu. Sayang sekali. Gambar: Pool via Reuters
Mane kini sering berlebihan dalam beraksi individu. Sayang sekali. Gambar: Pool via Reuters
Apakah karena Mo Salah terlalu egois dalam menyelesaikan bola akhir (peluang)?

Sebenarnya, dirunut jejaknya, apa yang dilakukan Mo Salah sudah ada sejak Liverpool berkampanye menuju gelar juara liga musim sebelumnya. Tetapi, Klopp menganggap keegoisan dan memaksakan diri untuk mencetak gol yang dilakukan Salah adalah wajar.

Apa yang dikatakan Klopp memang ada benarnya. Seorang penyerang memang tugasnya mencetak gol. Tetapi, perlu diingat pula bahwa Salah bukan Robert Lewandowski atau Zlatan Ibrahimovic, bahkan juga Erling Haaland.

Mo Salah adalah penyerang sayap, yang artinya sebelum ia wajib mencetak gol, ia juga wajib membagi bola kepada rekannya yang punya peluang lebih baik. Dalam arti lugasnya, Mo Salah tidak seharusnya menggunakan "kacamata kuda" ketika di dalam kotak penalti.

Selain itu, apa yang dikatakan Klopp juga dapat dimaklumi, karena dia adalah manajer. Ia adalah tameng skuadnya. Dialah yang perlu menetralisir "serangan" yang dialamatkan ke pemainnya.

Tetapi, "serangan" itu lambat-laun malah seperti menjadi kenyataan. Salah semakin sering terlihat memaksakan diri untuk mencetak gol meski ada rekan lain yang bisa menerima bola akhir. Nahasnya, seringkali rekan lain itu adalah Mane.

Tidak jarang, Mane terlihat kecewa ketika Salah gagal mencetak gol, karena memang seharusnya bola itu tidak ia tendang. Hanya saja, apa yang dilakukan Salah sebenarnya juga merupakan naluri pemain yang terbiasa mencetak gol.

Siapa tahu, bola yang ia tendang secara ajaib tetap dapat mengarah ke gawang walau dalam situasi sulit. Ini yang saya pikirkan juga ketika melihat Salah dan pemain-pemain yang posisinya adalah penyerang sayap.

Mereka biasanya cenderung suka membuat keputusan spekulasi. Seperti yang dilakukan Riyad Mahrez, Henrikh Mkhitaryan, Pedro, Alexis Sanchez, Neymar, Mbappe, hingga pemain yang saat ini sedang hangat diperbincangkan, Gareth Bale.

Sedangkan, Mane cenderung seperti Willian, Cuadrado, yang mau melihat situasi. Kalau memang bagus untuk dieksekusi sendiri, ditendang. Kalau melihat rekannya lebih potensial, diberikan operan.

Menurut saya, mungkin inilah yang membuat dua tumpuan di lini serang Liverpool pecah kongsi. Mereka kemudian seperti berlomba untuk menjadi "panglimanya" Liverpool.

Jika merujuk pada struktur di TNI AD Indonesia, di sana puncak struktur dipegang oleh Panglima. Hanya ada satu panglima. Artinya, di dalam klub jika ada panglima, maka panglimanya juga harus satu.

Apakah itu artinya, Liverpool harus bergantung pada satu pemain?

Menurut saya, itu bukan sesuatu yang harus selamanya ditakutkan. Karena, nyaris semua klub yang sering menang dan bahkan juara juga mengandalkan satu pemain yang terbaik dari lainnya.

Juventus, Real Madrid, dan Barcelona adalah contoh bahwa mereka harus mengandalkan pemain terbaiknya untuk dapat terus mendongkrak timnya meraih kemenangan. Jika pemain andalannya absen, permainan langsung berubah drastis.

Lalu, menurut pengamatan sederhana saya, hanya ada tiga klub yang dapat bermain lebih kompleks. Mereka adalah Bayern Munchen, Manchester City (musim ini), dan Paris St. Germain (Neymar-Mbappe). Mungkin, ada yang mengernyitkan dahi terhadap nama terakhir.

Tetapi, patut diingat, bahwa di sana ada dua pemain hebat yang konsisten membawa PSG meraih kemenangan. Sekalipun, mereka tampil di "Liga Petani".

Sebenarnya, ada juga Tottenham Hotspur dengan duet Kane-Son, yang kini juga punya trio Bale-Kane-Son (BaKSo*). Tetapi, mereka biasanya bermain lebih simpel, dengan mengandalkan kemampuan mereka membangun transisi dari bertahan ke menyerang, bukan penguasaan bola.

Dari sini kita bisa melihat, bahwa jumlah tim yang tidak terlalu mengandalkan satu pemain terbaik masih sedikit dibandingkan tim yang mengandalkan satu pemain terbaiknya. Artinya, Liverpool tidak perlu merasa bersalah kalau nantinya hanya bertumpu pada satu pemain terbaik.

Saya ambil contoh dengan Real Madrid yang pernah mengumpulkan pemain-pemain terbaik seperti Cristiano Ronaldo, Ricardo Kaka, Karim Benzema, Angel Di Maria, Mesut Ozil, Sami Khedira, Toni Kroos, Luka Modric, hingga Gareth Bale. Tetapi, ujung-ujungnya yang terbaik adalah Cristiano Ronaldo.

Artinya, tidak ada dua panglima--diibaratkan sebagai pemain terbaik--di dalam satu tim di lapangan. Kalaupun, ada lebih dari satu panglima dalam satu tim, mereka harus bergantian mengisi masa keemasannya.

Maksudnya, jika musim ini Salah menjadi panglima, maka musim depan Mane yang menjadi panglimanya. Itu jika diberlakukan di Liverpool, yang sebenarnya juga pernah terlihat di musim 2017/18, 2018/19, dan 2019/20.

Seharusnya, itulah yang bisa dijadikan bahan introspeksi bagi Mane dan Salah jika mereka memang tidak ada yang akan pergi dari Liverpool musim depan. Itu pula yang nantinya bisa membuat permen karet yang dikunyah seperti permen karet baru, alias ada manisnya lagi.

Mane-Salah pernah jadi duet manis. Gambar: AFP/Jan Kruger/Getty Images Europe/Getty Images via AFP via Kompas.com
Mane-Salah pernah jadi duet manis. Gambar: AFP/Jan Kruger/Getty Images Europe/Getty Images via AFP via Kompas.com
Tetapi, kalau berdasarkan pengalaman Real Madrid yang menurut saya tim yang paling bagus mengelola pemain bintang, maka Liverpool juga harus rela melepaskan pemain bintangnya. 

Kita tentu tidak lupa dengan kepergian Raul Gonzalez, Gonzalo Higuain, Kaka, Mesut Ozil, bahkan Bale--dipinjamkan ke Spurs--dari Real Madrid.

Itu terjadi ketika mereka mulai tidak bisa mengamankan menit bermainnya dengan skuad yang disesaki pemain terbaik dan pemain baru yang lebih potensial. Pilihannya adalah pergi, dan klub harus rela melepaskannya.

Menurut saya, itu yang perlu dilakukan Liverpool juga musim depan jika mereka tidak ingin situasi "perang dingin" antara (panglima) Mane dan Panglima Salah terus berkelanjutan dan menjadi racun di lapangan. Liverpool seharusnya tidak perlu khawatir dengan kepergian salah satu dari dua pemain terbaiknya itu.

Mereka masih punya Diogo Jota yang akan kembali pulih. Ada juga Takumi Minamino yang sudah "ospek" di Southampton, dan tentunya dengan mempercayakan satu slot lini serang ke pemain muda dari akademi.

Dengan begitu, Liverpool tidak akan menemukan kendala menciptakan keharmonisan di lini serangnya. Karena, para pemain akan saling melengkapi dan tidak ada perang ego lagi.

Lalu, pertanyaannya adalah akankah Liverpool melakukan itu? Atau, mereka tetap ngeyel untuk menjadi klub yang menyerupai Real Madrid dengan mencoba merengkuh dua panglima dalam satu gelanggang?

Ayo, Liverpool! Gambar: Pool via Reuters
Ayo, Liverpool! Gambar: Pool via Reuters
Malang, 8 Maret 2021
Deddy Husein S.

Catatan: * Istilah Trio Bakso dipopulerkan oleh Justinus Lhaksana.

Tersemat: Setkab.go.id.

Terkait: Kompas.com dan Goal.com.

Baca Juga: Manchester United dan Liverpool Sulit Juara Premier League

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun