Secara pribadi, sebenarnya saya kurang mengenal figur bernama Artidjo Alkostar. Maklum, saya memang kurang mengikuti berita-berita tentang hasil sidang kasus korupsi dan sejenisnya.
Namun, saya sempat melihat foto Artidjo Alkostar dengan tumpukan berkas-berkas di sekelilingnya--seperti gambar di artikel ini--saat pemberitaan pemilihan Dewan Pengawas (Dewas) KPK pada 2019. Sejak itu saya mulai tahu sosok Artidjo.
Orang yang disebut-sebut sangat ditakuti oleh para koruptor, dan menurut saya itu logis. Itu seperti guru yang ditakuti muridnya, dikarenakan murid tersebut susah diatur dan sering mendapat hukuman.
Jika tidak ingin takut dengan Artidjo, kuncinya adalah tidak korupsi. Logika yang sederhana, namun nyatanya sulit dilakukan.
Sudah banyak kasus yang ditangani Artidjo sampai Mei 2018. Kemudian, pada Desember 2019 beliau resmi menjadi anggota Dewas KPK. Namun, pada 2021, sepak terjang mulianya di ranah hukum di Indonesia harus berakhir.
Artidjo Alkostar meninggal dunia pada 28 Februari 2021, di usia 72 tahun. Beliau tutup usia saat masih menjabat sebagai anggota Dewas KPK.
Meski demikian, jasa-jasanya kala masih menjadi hakim sangat patut dikenang dan diteladani. Khususnya, bagi calon-calon hakim di Indonesia.
Selain itu, saya juga berpikir bahwa kisahnya dalam menghukum koruptor kelas kakap patut pula diangkat ke sebuah karya tontonan, entah film atau serial. Apalagi, saat ini kita sudah familier dengan web-series, maka itu juga bisa menjadi wadah tepat untuk mengenang sekaligus mengenal perjuangan Artidjo Alkostar.
Karena, tidak selamanya kita dapat menjangkau karya tulisan, seperti biografi, otobiografi, atau novel. Terkadang, kita lebih banyak mendapatkan informasi penting malah lewat tontonan.
Ini bukan berarti nanti akan mengajarkan penjahat untuk mempelajari cara tokoh (yang menyerupai) Artidjo dalam mengeksekusi penjahat. Tetapi, juga bisa menyadarkan calon-calon penjahat untuk ingat tentang apa konsekuensi yang akan diperoleh jika melakukan praktik kejahatan itu.