Artinya, penyebaran naskah rancangan itu tidak dalam bentuk halaman yang super banyak, melainkan diangsur. Seperti membuat naskah cerita berseri yang ada episodenya dan diunggah tiap hari tertentu dalam rentang waktu sebelum agenda rapat pemutusan akhir kebijakan.
Dengan begitu, semua rancangan undang-undang/peraturan akan terbaca dan dapat pula dikaji secara berkelanjutan di segala forum. Bahkan, juga bisa menjadi bahan obrolan saat ngopi. Daripada ngomongin yang tidak bermutu, lebih baik membahas naskah tersebut.
Jika langkah itu dilakukan, maka semua orang akan melek dan paham terkait isi segala peraturan yang hendak ditetapkan pemerintah. Pemerintah pun tidak akan membuang berkas-berkas yang sudah telanjur ditandatangani dan dipidatokan.
Cara itu juga akan membuat tidak ada lagi pola kerja pemerintah dan masyarakat yang plin-plan. Saya sebut juga masyarakat, karena saat kebijakan legalitas miras ditarik, masyarakat kemudian mulai menjadi "ahli kebudayaan".
Masyarakat mulai menyuarakan tentang nilai-nilai makanan atau minuman yang mengandung alkohol namun masih diizinkan beredar, karena berkaitan dengan kearifan lokal. La, kemarin ke mana saja?
Mengapa baru muncul sekarang? Atau, mengapa kemarin suaranya kalah tinggi dengan yang menjadi "ahli agama"?
Jangan-jangan pemerintah plin-plan terhadap kebijakannya bukan hanya karena mereka yang plin-plan, tetapi karena kekuatan aspirasi masyarakat yang juga berubah-ubah. Atau, bisa dikatakan aspirasi tersebut berganti-ganti asalnya karena menyesuaikan nilai keuntungan pada masyarakat.
Artinya, saya khawatir, kalau arogansi pemerintah juga dilawan oleh arogansi masyarakat, dan itu membuat Indonesia selamanya berada di siklus maju-mundur. Tidak ada kejelasan mau ke mana negara ini melangkah.
Ketidakjelasan ini kemudian membuat saya melihat praktik politik yang diterapkan pemerintah seperti politik serba salah. Membuat "acara" A dicibir, membuat "acara" B juga dicibir. Lalu, "acara" apa yang tidak akan dicibir?
Mungkin, Wagituh bisa menjawabnya.
Malang, 5 Maret 2021
Deddy Husein S.