Lalu, bagaimana menurut saya?
Sebenarnya, apa pun kebijakan pemerintah, sebaiknya perlu dikaji. Pengkajian itu perlu mempertemukan pihak pro dan kontra. Kedua belah pihak wajib memberikan pendapatnya secara kontekstual, komprehensif, dan bertanggung jawab.
Artinya, ketika menanggapi kebijakan pemerintah, seharusnya tidak asal buat status, cuitan, dan story. Menanggapi kebijakan pemerintah sebaiknya dengan pemikiran, alias rasionalitas. Soal apakah dangkal atau dalam, itu bukan masalah besar, selama berani dipertanggungjawabkan.
Permasalahannya, terkadang orang menanggapi kebijakan pemerintah hanya lewat unggahan di media sosial yang selayaknya curhat tentang "malam minggu selalu hujan". Apalagi, yang melakukannya kadang figur-figur yang memiliki pengikut banyak di akun medsosnya.
Asumsi selayang pandang itu akhirnya menyebar, dan bahkan menjadi rujukan untuk berasumsi pula di ranah privat. Misalnya, di grup obrolan keluarga.
Ini seperti yang terjadi dalam menanggapi keberadaan UU Cipta Kerja beberapa waktu lalu. Baik yang pro dan kontra hanya berperang argumen lewat akun medsos, tanpa ada sematan tulisan komprehensif berupa artikel yang mendukung dan dapat dipertanggungjawabkan.
Akhirnya, yang terjadi adalah perang kata-kata secara online. Itu jelas tidak produktif dalam membangun tanggapan terkait kebijakan pemerintah.
Menariknya, saya menangkap 'kengenesan' ini seperti diuji oleh pemerintah. Pemerintah dengan kepala negaranya rajin mengeluarkan kebijakan, yang uniknya kadang berubah-ubah.
Seperti yang sudah saya singgung di awal, dan itu juga terjadi kali ini, khususnya dalam hal peraturan investasi miras di Indonesia. Pemerintah awalnya membuat kebijakan itu dengan catatan "mengistimewakan" beberapa daerah.
Kebijakan itu kemudian menuai beragam tanggapan, yang secara selayang pandang saya lebih banyak menemukan tanggapan yang kontra daripada yang pro. Seketika, tidak sedikit orang menjadi "ahli agama" online, hanya untuk menolak kebijakan tersebut.
Saya ada di mana?