Memang, secara teori, manusia adalah makhluk sosial. Tetapi, apakah dalam penerapannya demikian?
Saya ambil contoh dengan dua orang perempuan (Yaya dan Yeye) yang masuk ke dalam suatu organisasi dengan status tidak berpacaran--beda dengan status belum berpacaran. Ketika sudah masuk ke organisasi itu, ternyata salah satu dari perempuan itu tertambat dengan rekan (lelaki) seorganisasinya. Sedang yang satunya lagi, masih betah menjomlo.
Namun, entah mengapa, hubungan keduanya mulai renggang. Dasdisdus, tanpa diketahui penyebabnya oleh rekan seorganisasinya, mereka putus.
Putusnya si perempuan dan si lelaki itu membuat keduanya juga dasdisdus, keluar dari keanggotaan organisasi. Keluarnya dua orang itu, berarti keluarnya juga dua kepala dan dua tenaga di dalam organisasi.
Siapa yang rugi? Pembaca silakan jawab sendiri.
Lalu, bagaimana dengan si perempuan satunya lagi yang ternyata masih menjomlo? Dia ternyata sanggup menuntaskan masa baktinya di organisasi sesuai plakat organisasi yang mengatur masa aktif keanggotaan minimal 1 tahun dan maksimal selama 5 tahun.
Sekalipun, ia bukan tipikal pengide ulung seperti perempuan yang pergi, tetapi ia selalu ada untuk organisasinya. Ia juga mau mengambil peran yang dasar sekalipun dia bisa disebut telah senior.
Melihat ilustrasi si perempuan jomlo, mungkin ada pembaca yang menganggapnya adalah teladan. Tetapi, saya tidak sepenuhnya menganggap perempuan tersebut teladan. Mengapa?
Karena, menjadi orang yang tanpa mau bersentuhan dengan cinta itu sulitnya minta ampun. Maka, daripada meniru yang sangat susah, mengapa tidak cari contoh yang lebih gampang?
Saya berpikir demikian, karena yang saya tahu orang yang mudah cinta lebih banyak dari orang yang mudah suka. Apa bedanya?