Mohon tunggu...
Deddy Husein Suryanto
Deddy Husein Suryanto Mohon Tunggu... Penulis - Content Writer

Penyuka Sepak Bola. Segala tulisan selalu tak luput dari kesalahan. Jika mencari tempe, silakan kunjungi: https://deddyhuseins15.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Hobby Pilihan

Menggemari Sepak Bola dengan "Long Distance Relationship"

20 Februari 2021   12:10 Diperbarui: 20 Februari 2021   14:36 421
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tidak hanya cinta antarmanusia yang bisa terpisah, cinta terhadap suatu hal juga bisa terpisah. Tetapi, ada orang yang memang menginginkannya, ada pula yang tidak menginginkannya.

Dalam hal ini, saya memilih sepak bola sebagai sesuatu yang dapat dicintai. Walaupun, sebenarnya bisa lebih diturunkan sedikit levelnya dari kadar cinta untuk seseorang.

Saya menggunakan kata cinta, karena kata cinta terasa cocok untuk menggambarkan orang dengan hobinya. Menurut saya, orang menjalankan hobinya karena ada cinta.

Bahkan, terkadang ada ambisi di sana menyerupai seorang lelaki yang berambisi membuktikan rasa cintanya kepada seorang perempuan yang telah lama dicintai. Hobi juga seperti ini, ada ambisi untuk membuktikan bahwa "ini adalah hobiku".

Bagi orang yang sudah berkeluarga dan masih sangat merawat hobinya, terkadang juga ada "perang dingin" antara si suami dengan si istri. Ini taklepas dari keberadaan ambisi atau keinginan menunjukkan eksistensi hobinya, namun terkadang bertentangan dengan sudut pandang keluarga dan buta situasi.

Hal semacam itu juga seperti "perang dingin" yang kadang muncul di dalam keluarga yang anaknya sudah (merasa) dewasa dan ingin menikah. Lalu, calon pasangannya ternyata belum direstui oleh orang tua. Maka, terjadilah "perang dingin".

Syukur-syukur kalau tidak nekad kawin lari. Tetapi, memang begitu kalau sudah berbicara tentang cinta. Ada saja yang terlihat tidak setuju, sedangkan yang jatuh cinta merasa dialah yang paling benar.

Dalam hal hobi, menurut saya juga begitu. Tidak jarang, orang yang punya hobi tertentu secara langsung/tidak langsung memperlihatkan bahwa hobinya yang paling bagus, dan orang lain menganggap mereka hanya ingin pamer.

Orang yang hobi otomotif, secara taksengaja menganggap hobi itulah paling keren dan macho. Lalu, orang lain menganggap orang itu hanya ingin pamer kekayaan yang 'diaktelahirkan' sebagai hobi.

Kemudian, ada orang yang hobi melukis dan menganggap hobi itulah yang paling artistik. Namun, orang lain menganggap ia hanya orang yang ingin bermalas-malasan tapi berselimut kertas kanvas. Duh, pedes!

Ada juga orang yang hobi menulis, dan menganggap dirinya ingin meninggalkan jejak semasa hidup. Tetapi, tidak jarang dia dianggap sok pintar oleh orang lain.

Ups! Jangan baper!

Lalu, bagaimana dengan orang yang hobi menonton sepak bola?

Ada yang menganggap diri paling sporty. Lalu ada juga yang menganggap diri paling tahu seluk-beluk dunia, karena memang sepak bola bisa "mengantarkan" orang yang menggemarinya untuk "menjelajah" negara-negara lain.

Misalnya, ketika ada turnamen Piala Dunia di Afrika Selatan, orang yang hobi menonton bola akan mencari tahu bagaimana karakteristik Afsel. Begitu pula ketika ada Piala Dunia di Rusia, orang yang hobi menonton bola akan mencari tahu tentang Rusia. Apakah negara ini seseram stigma tentang negara komunis?

Selain itu, menggemari bola juga membuka mata terhadap keberagaman wujud manusia di atas lapangan yang sama. Ada yang modelnya seperti Lionel Messi, ada yang seperti Cristiano Ronaldo, ada yang modelnya seperti Keisuke Honda, ada pula yang modelnya seperti Romelu Lukaku, dan lainnya.

Artinya, ketika seseorang menggemari bola, dia bisa belajar mengetahui dan mengenal keberagaman manusia di bumi. Itu yang sebenarnya saya unggulkan manfaat dari menonton bola sejak kecil sampai sekarang.

Karena bola, saya mengenal sejak dini orang hebat dengan berbagai ciri fisiknya. Gambar: Getty Images via Detik.com
Karena bola, saya mengenal sejak dini orang hebat dengan berbagai ciri fisiknya. Gambar: Getty Images via Detik.com
Itulah mengapa, kalau ada yang menganggap menggemari sepak bola karena prestasi klub atau tim, bagi saya itu paradoks kakek-nenek. Saat ini, menggemari sepak bola bisa lebih humanis. Masa bodoh dengan prestasi, sekalipun itu penting.

Menurut saya, permasalahan dalam menggemari sepak bola adalah terjebak pada kalah-menang dan juara. Padahal, sepak bola bisa digemari lewat sisi-sisi lain.

Hanya saja, kebanyakan orang terjebak pada sensasi atau keinginan mencari gelora semangat. Itu yang biasanya tersalurkan lewat hasil pertandingan dan hasil akhir musim.

Saya sebenarnya juga begitu. Ketika sedang kurang semangat dan ingin mencari semangat, biasanya akan menonton sepak bola.

Lewat aktivitas itu saya bisa melihat permainan, melihat ekspresi pemain; wasit; dan pelatih, juga bisa melihat gestur para suporter di tribun--sebelum pandemi. Betul, saya akan dan selalu menonton sepak bola lewat layar kaca, atau kalau sekarang lewat layar gawai (laptop/hape).

Itulah mengapa, kemudian saya menyebut 'long distance relationship' dalam hubungan saya dengan sepak bola. Dan, itu terjadi sejak saya kecil sampai sekarang.

Apakah tidak ada keinginan untuk menonton langsung?

Tentu saja pernah ada. Sewaktu SMP (termasuk saat SMA) kebetulan sesekali dalam materi penjaskes perlu praktik di lingkungan stadion.

Saat melihat stadion, saya mulai menumbuhkan keinginan untuk menonton di sana kalau ada pertandingan. Tetapi, niat itu urung terjadi karena saya merasa kurang nyaman dan aman.

Melihat keberangkatan penggemar klub bola dengan model arak-arakan dan cenderung ugal-ugalan di jalan perkampungan hingga jalan raya, saya kurang suka. Akhirnya, sejak itu saya sepakat untuk sebisa mungkin tidak perlu menonton langsung ke stadion.

Mungkin, suatu saat akan menonton langsung. Entah kapan.

Lagipula, saya lebih tertarik menonton lewat layar kaca, karena bisa menangkap semua pandangan lebih dekat, walau bisa dikatakan terdikte oleh kamera. Tetapi, orang yang bisa menangkap permainan sepak bola adalah mereka yang sudah terbiasa menonton dengan cara itu.

Saya menganggap sepak bola itu sebenarnya seperti film, serial, konser musik di tivi, atau bahkan teater yang sudah terdokumentasikan. Mereka bisa ditonton dalam kemasan yang lebih nyaman untuk ditonton.

Apalagi, kalau orang yang menonton tidak hanya ingin merasakan aura semangatnya, melainkan menangkap detail-detail lain. Saya tidak bisa membayangkan bagaimana situasi kepala saya ketika mendengar sisi kanan-kiri saya terus meneriakkan yel-yel dan caci-maki untuk mengiringi permainan sepak bola di lapangan.

Mungkin, itu juga perlu faktor pembiasaan (beradaptasi). Dan, sayangnya saya memilih untuk membiasakan diri menonton sepak bola lewat layar kaca.

Bahkan, saya juga kurang suka menonton bareng (nobar)--yang ini saya pernah, karena situasinya juga berisik. Apalagi, terkadang saya melihat orang-orang yang nobar di kafe atau warkop ada yang modelnya seperti 'penonton kecelakaan'. Atau, hanya sekadar ingin ikut momen ramai saja.

Otomatis, apa yang diceletukkan kebanyakan 'sampah'. Alias, tidak mutu untuk mengiringi permainan sepak bola. Misalnya, caci-maki.

Menonton begini cocok untuk mereka yang menjadikan bola sebagai media sosial, bukan hobi individual. Gambar: Shutterstock via Kompas.com
Menonton begini cocok untuk mereka yang menjadikan bola sebagai media sosial, bukan hobi individual. Gambar: Shutterstock via Kompas.com
Hal itu yang membuat saya lebih suka menonton sepak bola sendirian. Rasanya lebih khidmat dan tidak perlu peduli dengan anggapan orang lain yang menganggap sepak bola tidak penting.

Padahal, mereka lupa kalau sepak bola juga seperti drakor dan serial India. Ada dramanya dan ada percikan-percikan emosinya. Apalagi, kalau menemukan wasit yang kadang sengaja tidak mau menengok VAR. Rasanya ingin nampol jidatnya.

Atas dasar itulah saya akhirnya menjadikan sepak bola sebagai objek kegemaran saya yang tidak harus saya tunaikan secara langsung (off-air), melainkan dapat dilakukan secara LDR. Saya juga tidak peduli dengan suara sumbang tentang penggemar sepak bola yang harus bisa main sepak bola.

Memangnya, yang suka menonton drakor dan film Hollywood bisa main film? Memang bisa, tapi apa bisa sebagus apa yang ditonton?

Itu juga seperti orang yang main bola. Mereka yang tidak profesional, cara bermainnya juga banyak yang modal naluri saja. Tidak ada taktik. Apalagi kalau nafas sudah ngos-ngosan, apa itu taktik?

Tapi, saya perlu tekankan bahwa ketika ada penggiat, maka selalu ada penonton. Ada karya, pasti ada asumsi.

Sepak bola itu karya, dan sudah banyak orang yang menjadi penggiatnya. Maka, saya menjadi penontonnya. Apa salah saya?

Kebetulan, karena saya suka mengoceh lewat tulisan, maka saya menulis tentang sepak bola. Biar imbang.

Kabarnya, apa yang dijalankan dengan seimbang, pikiran dan mental akan sehat. Itulah yang sedang saya lakukan, yaitu menikmati hobi dengan menjadikannya sebagai nutrisi untuk menjaga kesehatan mental.

Kalau ternyata hobi itu harus dijalankan secara LDR, tidak apa-apa. Toh, yang sedang berstatus pacaran saat ini banyak yang LDR-an. Uhuk!

Malang, 20-02-2021
Deddy Husein S.

Catatan penting: Tulisan ini tidak bermaksud mengajak penggemar bola yang gemar bertandang ke stadion untuk tidak ke stadion. Jikalau keadaan sudah dan sangat membaik (bebas covid-19), silakan kembali meramaikan tribun suporter. Tulisan ini hanya mengakomodir pemikiran dari penggemar bola yang kebetulan lebih suka menonton lewat televisi/gawai. Orang-orang ini juga tetap membayar listrik dan biaya langganan saluran berbayar. Terima kasih.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun