Otomatis, apa yang diceletukkan kebanyakan 'sampah'. Alias, tidak mutu untuk mengiringi permainan sepak bola. Misalnya, caci-maki.
Padahal, mereka lupa kalau sepak bola juga seperti drakor dan serial India. Ada dramanya dan ada percikan-percikan emosinya. Apalagi, kalau menemukan wasit yang kadang sengaja tidak mau menengok VAR. Rasanya ingin nampol jidatnya.
Atas dasar itulah saya akhirnya menjadikan sepak bola sebagai objek kegemaran saya yang tidak harus saya tunaikan secara langsung (off-air), melainkan dapat dilakukan secara LDR. Saya juga tidak peduli dengan suara sumbang tentang penggemar sepak bola yang harus bisa main sepak bola.
Memangnya, yang suka menonton drakor dan film Hollywood bisa main film? Memang bisa, tapi apa bisa sebagus apa yang ditonton?
Itu juga seperti orang yang main bola. Mereka yang tidak profesional, cara bermainnya juga banyak yang modal naluri saja. Tidak ada taktik. Apalagi kalau nafas sudah ngos-ngosan, apa itu taktik?
Tapi, saya perlu tekankan bahwa ketika ada penggiat, maka selalu ada penonton. Ada karya, pasti ada asumsi.
Sepak bola itu karya, dan sudah banyak orang yang menjadi penggiatnya. Maka, saya menjadi penontonnya. Apa salah saya?
Kebetulan, karena saya suka mengoceh lewat tulisan, maka saya menulis tentang sepak bola. Biar imbang.
Kabarnya, apa yang dijalankan dengan seimbang, pikiran dan mental akan sehat. Itulah yang sedang saya lakukan, yaitu menikmati hobi dengan menjadikannya sebagai nutrisi untuk menjaga kesehatan mental.
Kalau ternyata hobi itu harus dijalankan secara LDR, tidak apa-apa. Toh, yang sedang berstatus pacaran saat ini banyak yang LDR-an. Uhuk!