Itulah mengapa, kemudian saya menyebut 'long distance relationship' dalam hubungan saya dengan sepak bola. Dan, itu terjadi sejak saya kecil sampai sekarang.
Apakah tidak ada keinginan untuk menonton langsung?
Tentu saja pernah ada. Sewaktu SMP (termasuk saat SMA) kebetulan sesekali dalam materi penjaskes perlu praktik di lingkungan stadion.
Saat melihat stadion, saya mulai menumbuhkan keinginan untuk menonton di sana kalau ada pertandingan. Tetapi, niat itu urung terjadi karena saya merasa kurang nyaman dan aman.
Melihat keberangkatan penggemar klub bola dengan model arak-arakan dan cenderung ugal-ugalan di jalan perkampungan hingga jalan raya, saya kurang suka. Akhirnya, sejak itu saya sepakat untuk sebisa mungkin tidak perlu menonton langsung ke stadion.
Mungkin, suatu saat akan menonton langsung. Entah kapan.
Lagipula, saya lebih tertarik menonton lewat layar kaca, karena bisa menangkap semua pandangan lebih dekat, walau bisa dikatakan terdikte oleh kamera. Tetapi, orang yang bisa menangkap permainan sepak bola adalah mereka yang sudah terbiasa menonton dengan cara itu.
Saya menganggap sepak bola itu sebenarnya seperti film, serial, konser musik di tivi, atau bahkan teater yang sudah terdokumentasikan. Mereka bisa ditonton dalam kemasan yang lebih nyaman untuk ditonton.
Apalagi, kalau orang yang menonton tidak hanya ingin merasakan aura semangatnya, melainkan menangkap detail-detail lain. Saya tidak bisa membayangkan bagaimana situasi kepala saya ketika mendengar sisi kanan-kiri saya terus meneriakkan yel-yel dan caci-maki untuk mengiringi permainan sepak bola di lapangan.
Mungkin, itu juga perlu faktor pembiasaan (beradaptasi). Dan, sayangnya saya memilih untuk membiasakan diri menonton sepak bola lewat layar kaca.
Bahkan, saya juga kurang suka menonton bareng (nobar)--yang ini saya pernah, karena situasinya juga berisik. Apalagi, terkadang saya melihat orang-orang yang nobar di kafe atau warkop ada yang modelnya seperti 'penonton kecelakaan'. Atau, hanya sekadar ingin ikut momen ramai saja.