Itulah mengapa, saya kemudian bertanya-tanya apakah saya pernah mengalami sweet karma atau tidak. Walau mungkin pernah, saya belum bisa memastikan perihal apa yang dulu pernah saya tolak lalu sekarang saya rengkuh.
Sekalipun saya pernah bilang iya/tidak pada suatu hal, pasti ada alasan di belakangnya. Tidak ada jawaban simpel yang bisa saya sampaikan hanya untuk menolak atau menerima suatu hal, termasuk tontonan dan musik.
Bagi saya, selama manusia bisa berpikir, semua hal ada alasannya. Dari yang sangat penting sampai yang kurang penting.
Termasuk tentang perubahan selera. Itu juga bisa terjadi dan pasti ada alasannya.
Contoh sederhananya adalah buah durian. Dulu sewaktu kecil, saya sering menangis kalau mencium aroma buah durian. Itu membuat ibu saya harus membelikan buah jeruk, karena lidah saya lebih senang dengan jeruk daripada durian.
Dari situlah saya bisa mengerti, bahwa seseorang yang awalnya tidak suka bisa menjadi suka. Tapi, kalau dari benci menjadi cinta, saya belum bisa menuliskannya. Mungkin, lain kali kalau saya ingin.
Jadi, kalau misalnya saya mendengar atau membaca penolakan dan keluhan orang terkait suatu hal tanpa ada alasan yang kuat, saya heran. Apalagi, kalau menolak sesuatu karena mengambil sudut pandang orang lain secara mentah, alias ikut tren.
Menurut saya, itu seperti budak yang tidak bisa melakukan apa-apa tanpa ada instruksi dari tuannya. Padahal, kita punya pikiran dan perasaan, maka kenapa tidak itu yang digunakan untuk menilai sendiri apa yang ada di depannya.
Ini juga seperti ketika saya dihadapkan pada suatu pertanyaan tentang "kotak-kotak" di media massa yang bisa memengaruhi gaya menulis saya. Secara pribadi, saya memang punya patokan, tetapi bukan karena faktor suka/tidak suka, melainkan sesuai atau tidak sesuai dengan apa yang akan saya tulis.
Artinya, dalam menentukan suatu hal selain tahu porsi, juga tahu kadar kecocokan. Tidak bisa orang menyatakan cinta hanya karena melihat foto profil. Konyol!