Mohon tunggu...
Deddy Husein Suryanto
Deddy Husein Suryanto Mohon Tunggu... Penulis - Content Writer

Penyuka Sepak Bola. Segala tulisan selalu tak luput dari kesalahan. Jika mencari tempe, silakan kunjungi: https://deddyhuseins15.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Love Pilihan

Buku Cinta yang Cocok Dibaca di Bulan Februari

15 Februari 2021   22:04 Diperbarui: 15 Februari 2021   22:16 762
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar: Dokumentasi pribadi/DeddyHS

Februari sangat identik dengan Hari Kasih Sayang alias Valentine's Day yang jatuh pada tanggal 14. Bagi yang punya kekasih, pasangan hidup (istri/suami), dan/atau orang yang sangat spesial tentu pada momen ini bisa dimanfaatkan untuk saling mengucap salam dan doa.

Saya pun melakukan itu ke ibu, karena ibu adalah orang yang sangat spesial di dalam hidup saya. Tidak ada rasa cinta, kasih, dan sayang yang bisa melampaui apa yang dilakukan ibu terhadap anaknya yang kebetulan juga laki-laki.

Pada 2021, Hari Kasih Sayang ada di hari Minggu. Saya memilih melewatkan beberapa jamnya untuk berjalan-jalan menelusuri Malang dengan seorang teman.

Kebetulan, teman saya sudah jauh hari mengikat janji untuk mengajak saya ke toko buku. Awalnya, saya kira akan mengajak pada hari Sabtu. Namun, teman saya urung menggunakan hari yang paling lazim dijadikan sebagai hari senggang para sibuker.

Sekalipun hari-hari saya tidak seketat orang lain, saya selalu berusaha menjadikan hari Sabtu dan/atau Minggu adalah hari yang cukup santai dibanding hari-hari biasa. Menurut saya, itu penting, agar kepala tidak "overheat".

Kepala (pikiran) yang terlalu panas, bisa membuat perasaan (suasana hati) menjadi kurang stabil. Itu juga akan memengaruhi kinerja di hari-hari (sok) sibuk seseorang.

Minggu, saat di toko buku, saya mencoba mencari (menandai) calon buku yang mungkin suatu saat dapat saya beli. Atau, setidaknya saya dapat memegang buku-buku baru yang sudah saya ketahui kabarnya di laman internet.

Sepanjang saya menelusuri setiap bilik, saya juga mencoba mencari apa yang mungkin bisa dibaca di momen 'Kasih Sayang'. Sekalipun, bukan penyuka karya romansa, saya tidak menampik kalau momen-momen tertentu terkadang bisa dimanfaatkan untuk mengenal karya-karya yang sesuai dengan momen tersebut.

Beruntung, teman saya membeli salah satu buku yang sebenarnya juga tidak saya rencanakan atau saya sarankan secara eksplisit. Buku itu karya Agus Mulyadi, yang saya tahu namanya dari teman saya lainnya lagi yang kebetulan (seperti) menggandrungi sosoknya.

Berhubung saya belum pernah membaca tulisannya di buku, saya belum bisa berkomentar tentang Agus Mulyadi sebagai penulis. Sepanjang kebiasaan saya mengikuti rekam jejak seorang penulis, saya harus membaca bukunya, baru dapat menilai sedikit tentangnya.

Kalau saya hanya baca cuitannya, saya kurang puas dan itu tidak bisa dijadikan tolok-ukur seberapa "gereget" orang tersebut. Memang, sebenarnya zaman sekarang membaca tulisan orang (penulis) tidak lagi hanya berpatokan pada buku, bisa lewat blog atau media tulisan lain yang memuat 'buah pikirnya'.

Namun, melihat Agus Mulyadi sudah berstatus redaktur sebuah media bernama Mojok*, maka saya sudah meletakkan satu nilai saya terhadapnya sebagai orang bukan kaleng-kaleng. Kalau sudah demikian, maka langkah tepatnya adalah membaca bukunya.

Walaupun saya generasi milenial yang masih berusia 20-an tahun, pola saya menilai seorang penulis tidak bisa hanya mengandalkan aktivitas di media sosial. Maka dari itu, sebelum membaca karya tulis dari orang yang sudah dipanggil penulis, saya harus membaca tulisannya.

Beruntung, pada momen yang masih hangat aroma 'Kasih Sayang', saya mendapat kesempatan membaca buku Agus Mulyadi. Kebetulan pula buku tersebut mengandung unsur kuat yang berkaitan dengan 'Kasih Sayang', yaitu cinta.

Buku yang cetakan pertamanya terbit pada 2019 ini berjudul "Sebuah Seni untuk Memahami Kekasih". Adapun subjudulnya adalah "Memaklumi Kekonyolan Kekasihku adalah Jalan Ninjaku".

Buku yang akhirnya mampir di terminal kepala saya. Gambar: Dokpri/DeddyHS
Buku yang akhirnya mampir di terminal kepala saya. Gambar: Dokpri/DeddyHS
Buku ini secara sekilas sudah sangat menarik perhatian. Khususnya bagi orang-orang yang bisa menangkap sense humor, baik implisit atau eksplisit.

Saya menyebut humor secara eksplisit, karena bisa dilihat pada subjudulnya. Ada istilah 'kekonyolan', maka ada harapan bagi calon pembaca untuk menemukan kekonyolan yang memang benar konyol.

Status humor juga diperkuat lewat label di atas kode ISBN, Komedi dan U15+. Semakin jelas, bahwa unsur cinta yang akan tersaji di sini akan menjadi unik. Setidaknya, bagi saya.

Buku ini dibanderol Rp 49.000,- untuk Pulau Jawa. Gambar: Dokpri/DeddyHS
Buku ini dibanderol Rp 49.000,- untuk Pulau Jawa. Gambar: Dokpri/DeddyHS
Sepanjang saya membaca novel-novel cinta, walau belum sampai tembus 10 biji, saya lebih banyak menemukan novel yang menonjolkan unsur dramatis dan romantisnya belaka dibandingkan unsur lain. Bahkan, secara "mengenaskan" saya juga pernah menulis dengan tema cinta dalam balutan unsur tersebut.

Saya juga menyebut humor secara implisit, karena ilustrasi di sampul depannya. Sekilas, saya kurang ngeh kalau itu adalah taplak meja yang digunakan si tokoh laki-laki untuk menyeka mata si tokoh perempuan yang berekspresi sedih.

Setelah saya memegang buku itu lebih lama di dalam 'goa persembunyian' saya, dan hendak membacanya, saya mulai tahu bahwa humor secara implisit juga ada di dalam ilustrasi tersebut. Mungkin, bagi orang yang daya tangkap visualnya lebih tinggi dari saya bisa menangkap pesan itu lebih dulu, dan akan menganggap itu juga termasuk eksplisit.

Lalu, saya melangkah ke isi buku. Saya disambut dengan 4 kalimat yang mengombinasikan unsur romansa dan humor.

Isinya. Asyik kan? Gambar: Dokpri/DeddyHS
Isinya. Asyik kan? Gambar: Dokpri/DeddyHS
Ada unsur pencerdasan wawasan secara implisit, juga ada gombal receh yang kemudian bisa membuat saya sedikit tersenyum. Langkah saya terus melaju dan melahap sekitar 94 halaman yang menyajikan "38 menu".

Ketika membaca daftar isinya, terlihat seperti daftar isi buku kumpulan puisi. Banyak sekali judulnya. Itu pula yang membuat saya semakin semangat untuk membacanya.

Niat saya untuk membaca tuntas pada hari yang sama pun terpenuhi, karena saya hanya butuh waktu sekitar 1 jam untuk membaca buku itu. Satu jam pula saya tidak bisa menahan diri untuk tidak terkekeh-kekeh.

Pembawaan ceritanya yang tidak didramatisir, membuat saya mudah menangkap perasaan dan pemikiran dari kejadian nyata yang dialami penulisnya (Mas Agus) bersama kekasihnya yang bernama Kalis (Mbak Kalis). Saya juga merasa terkait dalam beberapa topik yang dialami oleh Mas Agus atau Mbak Kalis.

Namun, dari beberapa topik itu saya hanya membagikan dua hal yang menurut saya penting untuk saya tulis di sini. 'Deadpool' dan 'Makian Kolektif'. Dua topik itu sama-sama berlatarbelakang kejadian di bioskop yang kemudian menurut saya menjadi gambaran betapa "nganunya" orang Indonesia dalam menikmati hiburan.

Ada yang salah memaknai atau menyikapi apa yang ada di dalam bentuk hiburan tersebut. Ada pula yang masih tidak tahu ruang dan waktu dalam menikmati keberadaan media hiburan.

Di dalam 'Deadpool', ceritanya tentang penonton yang (menurut saya) gagal dalam memahami calon film yang akan ditonton. Seharusnya, penonton itu membaca dulu informasi tentang "Deadpool".

Salah satu informasi yang penting adalah label usia penonton. Itu adalah kunci awal kita sebagai penonton film untuk dapat bersikap sesuai dengan label tersebut.

Jika penonton membawa anak kecil yang sudah jelas dibawah usia 17 tahun untuk menonton "Deadpool", itu jelas salah. Kecuali, kalau penonton tersebut mampu menjelaskan secara gamblang apa yang ada di dalam film "Deadpool". Kalau tidak?

Tidak usah bawa anak kecil!
Emosi saya kemudian juga ikut tersulut ketika membaca tentang 'Makian Kolektif'. Memang, saya teramat jarang menonton film di bioskop. Ini nyaris mirip dengan kebiasaan saya saat membeli makanan dengan selalu bilang, "Buk/Pak, dibungkus, ya!"

Namun, dalam hal mengalami gangguan cahaya ponsel ketika sedang berada di situasi bergelap-gelapan juga saya alami ketika menonton pertunjukan teater. Saat menonton teater, bagian yang terang hanya panggung.

Bahkan, penonton jika ingin memotret situasi panggung yang sudah 'beradegan' harus tanpa menggunakan flash. Kalau ada yang menggunakannya, itu ada dua faktor.

Pertama, itu penonton baru, alias pertama kali menonton teater. Kedua, orang itu lupa kalau sebelumnya dia pernah menggunakan kamera dengan menyalakan flash.

Namun, sama seperti yang ada di bioskop--seperti yang diceritakan Mas Agus, penonton di teater juga ada yang malah asyik menyalakan ponselnya sepanjang pertunjukan digelar. Entah, dengan segala alasannya.

Padahal, itu sebenarnya bisa mengganggu kenyamanan orang lain yang ingin fokus mengikuti jalan cerita di atas panggung. Namun, antara beruntung atau tidak, saya belum pernah melihat orang yang asyik menyalakan ponselnya saat pertunjukan teater dimulai lalu harus dimaki-maki oleh sesama penonton karena tidak kunjung mematikan ponselnya.

Menurut saya, ini kejadian yang menarik, yang kemudian saya anggap patut saya sematkan di sini. Soal apakah dua topik itu mengandung cinta atau bukan, menurut saya kalau pembaca membaca sendiri buku tersebut, maka pembaca akan menemukan bahwa semua topik di buku tersebut mengandung unsur cinta.

Hanya saja, cinta yang tersajikan telah membaur dengan kehidupan sehari-hari. Ini yang membuat saya senang membaca buku ini.

Buku yang menurut saya berhasil menyatukan humor dan cinta yang mungkin menurut orang lain sukar disatukan. Bukan apa-apa, menyatukan humor dan cinta bisa membuat salah satunya akan terlihat amat remeh.

Entah, unsur cintanya akan sangat dangkal, alias tanpa pesan berarti. Atau, unsur humornya sangat mudah ditebak dan terkadang tidak ada bedanya dengan membaca meme.

Namun, buku ini tidak demikian. Buku ini masih melibatkan unsur sosial dan bahkan kejiwaan. Walau, tentu dengan kemasan yang saya sebut membaur tadi, alias sudah membumi.

Semua orang akan berusaha menandaskan buku ini dan bisa lebih memaknai lagi apa itu cinta. Semoga, dengan ulasan sederhana ini, pembaca bisa menemukan referensi bacaan tentang cinta di bulan yang identik dengan cinta ini.

Adapun beberapa buku tentang cinta yang juga saya jadikan rekomendasi untuk mengakhiri tulisan ini. Mereka diantaranya:
"Tenggelamnya Kapal van der Wijck" (Hamka)/1938
"The Notebook" (Nicholas Sparks)/2016
"Bumi Manusia" (Pramoedya Ananta Toer)/1980
"Tidak Ada New York Hari Ini" (M. Aan Mansyur)/2016
"Dilan 1990" (Pidi Baiq)/2014
"Midah Si Manis Bergigi Emas" (Pramoedya Ananta Toer)/1955

Malang, 15 Februari 2021
Deddy Husein S.

(*) Keterangan: Status Agus Mulyadi sebagai redaktur Mojok disematkan di dalam buku "Sebuah Seni untuk Memahami Kekasih: Memaklumi Kekonyolan Kekasihku adalah Jalan Ninjaku" (2019, Sleman; Shira Media).
Terima kasih juga kepada teman saya yang meminjamkan buku tersebut.
Terkait: Gramedia.com, Cosmopolitan.co.id, dan Bacaterus.com.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Love Selengkapnya
Lihat Love Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun