Mohon tunggu...
Deddy Husein Suryanto
Deddy Husein Suryanto Mohon Tunggu... Penulis - Content Writer

Penyuka Sepak Bola. Segala tulisan selalu tak luput dari kesalahan. Jika mencari tempe, silakan kunjungi: https://deddyhuseins15.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Kritik, Kurang Cantik tapi Menggoda

14 Februari 2021   22:15 Diperbarui: 18 Februari 2021   20:32 699
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi mendengar kritik. (sumber: pixabay.com/RobinHiggins)

Ada yang suka kritik?

Ada, kalau sedang bertindak sebagai pemberi, pasti suka. Tapi, kalau menjadi penerima, belum tentu ada. Kenapa bisa begitu?

Mungkin, karena pepatah "tangan di atas lebih baik daripada tangan di bawah", digunakan di sini. Pepatah itu tidak salah, kalau memang dijadikan komitmen si pemberi kritik. 

Karena, memberi kritik itu sebenarnya tidak mudah. Perlu banyak pertimbangan, agar kritik itu ikhlas diberikan ke orang lain.

Kritik butuh modal. Setelah uang untuk membeli kuota, atau uang 6.000 rupiah untuk membeli secangkir kopi hangat di warkop yang memasang 'Free Wi-Fi', kritik juga membutuhkan pengetahuan dari si calon pengkritik.

Pengetahuan itu modal, bahkan lebih tinggi nilainya dari secangkir kopi yang dibeli. Walaupun, petani kopi juga akan protes, karena merasa tersinggung.

Betul, petani kopi juga setara kok dengan guru yang bertugas menanamkan dasar pengetahuan ke kita, termasuk ke calon pengkritik. Namun, dalam urusan mengkritik, sang petani kopi boleh beristirahat sejenak di luar "oktagon".

Pada sesi ini, gurulah yang bisa menjadi pemantau yang serius dalam mengamati gerak-gerik si pengkritik yang mulai mendekati "ring". Guru memang tidak menjadi pihak langsung yang bertanggung jawab atas aksi si pengkritik, namun si pengkritik harus ingat bahwa gerbang pengetahuan yang ia masuki awalnya dibukakan oleh guru selain orang tuanya.

Setelah itu, si pengkritik bisa memasuki banyak ruang untuk mengeruk pengetahuan-pengetahuan yang ia ingin kuasai. Minimal, dia paham secara teori dan contohnya.

Soal praktik, jangankan yang lulus sekolah ditarget untuk praktik sesuai jurusannya. Orang yang bergelar lebih tinggi dari lulusan SMA saja, belum tentu lihai melakukan praktik sosial sesuai gelarnya kok.

Itulah mengapa, ketika hendak mengkritik, minimal si pengkritik punya dasar pengetahuan (teori-contoh) terkait apa yang dikritik. Itu yang menjadi modalnya untuk mengkritik.

Setelah itu, barulah kita berbicara tentang ikhlas dan tidak ikhlas. Alasannya sederhana, tidak semua orang mau membagi pengetahuannya, apalagi bagi yang selalu merasa pengetahuannya cetek.

Ini seperti "hukum berbagi" yang berdasarkan tingkat ekonomi seseorang. Ada pemikiran unik yang viral beberapa waktu lalu, bahwa orang yang punya tingkat ekonomi tinggi akan lebih mudah berbagi.

Secara logika dangkal, itu tidak salah. Memang, orang punya banyak duit logikanya memberi uang 10.000 ke penjaga parkir bukan masalah besar, sekalipun ia "hanya" memarkir sepeda motor yang biasanya dipatok 2.000 rupiah.

Tetapi, apakah itu ikhlas? Bagaimana kalau orang banyak duit itu memberi uang 10.000 karena untuk menjadi konten di channel Youtube-nya?

"Di Sini Parkir Motor 10.000, Gaes!"

Namun, berbicara soal ikhlas-takikhlas, itu sebenarnya urusan pribadi. Maka dari itu, sekalipun orang yang tidak banyak duit ingin berbagi dan ikhlas, itu juga bukan suatu keajaiban. Memang bisa, kalau mau dan tentunya ikhlas.

Landasan ini pula yang bisa ditiru oleh si pengkritik yang pengetahuannya masih cetek. Atas dasar ikhlas, dia dapat mengkritik dengan dasar yang masih dasar.

Pada satu sisi, itu semacam lelucon seandainya yang membaca kritik tersebut adalah orang yang lebih tinggi pengetahuannya, termasuk jika si pengetahuan tinggi itu ternyata orang yang dikritik. Namun di sisi lain, itu juga bisa menjadi pengingat bahwa orang yang berpengetahuan dasar saja sudah mau memberi kritik.

Bagaimana dengan yang lebih tinggi?

Kembali lagi pada perihal ikhlas dan takikhlas. Bisa saja yang berpengetahuan tinggi enggan memberi kritik karena tidak ikhlas. Sudah beli kuota/pasang Wi-Fi, malah harus mengkritik orang yang belum tentu bakal menerima kritikannya.

Tetapi, ada juga yang mungkin berpikir bahwa orang yang sebenarnya harus dikritik bisa diberikan kesempatan untuk belajar sendiri dari kesalahannya. Itu pun kalau orang yang dimaksud wawas diri. Kalau tidak?

Makanya, perlu ada orang-orang yang ikhlas memberikan kritik tadi. Merekalah yang sebenarnya patut diapresiasi, karena sudah mau mengkritik sekalipun dasarnya mungkin tidak lebih tinggi dari sasaran kritik.

Kalau dasarnya setara atau malah lebih tinggi, itu asyik. Berarti, ada 'orang kaya (pengetahuan) sekaligus ikhlas' yang telah memberikan pengetahuannya lewat kritik tersebut.

Tentu, ada orang yang demikian. Tinggal, apakah orang-orang tersebut diapresiasi kritikannya atau tidak.

Mengapresiasi kritik juga bukan perkara mudah. Ini juga perlu sudut pandang ikhlas dan takikhlas dalam menerima kritik.

Ada orang-orang yang ikhlas menerima kritikan, karena dia tahu bahwa kritikan tersebut dapat membuatnya lebih baik untuk ke depan. Ada pula yang tidak ikhlas, karena merasa kritikan itu belum tentu menjadikannya lebih baik di kesempatan berikutnya.

Orang-orang yang ikhlas terhadap kritikan seringkali dianggap pihak benar dan teladan. Sebaliknya, orang yang kurang hingga tidak ikhlas dengan kritikan yang menghampiri dianggap bebal dan takpatut ditiru.

Padahal, orang yang kurang atau belum mau menerima kritik juga belum tentu karena bebal. Bisa saja, karena dia sebenarnya tahu bahwa dirinya salah dan ingin memperbaikinya, namun dengan cara yang ia sudah persiapkan sendiri.

Apakah itu ada? Pasti ada.

Orang yang sudah sampai pada tahap dikritik orang lain, berarti dia sudah melakukan tahap yang namanya praktik. Artinya, dia juga tahu dasar awal, alias teori.

Namanya teori, pasti berusaha membentuk skema yang ideal, bukan? Tetapi, apakah saat dipraktikkan, hasilnya akan menjadi ideal?

Misalnya, saya dikritik orang lain karena tulisan saya gaje. Itu karena saya sudah menulis (praktik), dan saya sudah cukup membaca beberapa kiat menulis (teori) yang benar dan baik. Tetapi, apakah praktiknya bisa mewujudkan kiat-kiat tersebut?

Tahap itulah yang membuat orang-orang yang dikritik sebenarnya sudah layak diapresiasi. Hanya saja, ada dua jenis apresiasi yang ada, yaitu proaktif (setuju) dan kontradiktif (berlawanan).

Apresiasi yang mengandung unsur proaktif, berarti akan berwujud pada pujian. Siapa orang yang tidak mau dipuji?

Saya pun mau, walau saya lebih memilih diberi bayaran uang dibandingkan hanya pujian. Becanda.

Apresiasi kedua adalah berunsur kontradiktif. Berarti, akan berwujud kritikan.

Ilustrasi mengapresiasi; setuju atau berlawanan. Gambar: Antotunggal.com via Dekadepos.com
Ilustrasi mengapresiasi; setuju atau berlawanan. Gambar: Antotunggal.com via Dekadepos.com
Berdasarkan penjelasan tersebut, kita bisa sepakat dan mengingat bahwa kritik itu juga apresiasi. Hanya saja, yang kemudian sering menjadi perdebatan adalah terkait cara penyampaian, alias tata bahasa yang digunakan.

Misalnya, ada orang penggemar bola Indonesia yang langsung bilang, "PSSI Goblok!"

Coba bandingkan dengan, "PSSI sangat lambat dalam mengatasi polemik akibat Covid-19 dan menghadapi izin kompetisi dari POLRI yang takkunjung turun. Pihak DPR Komisi X dan Kemenpora juga cenderung kurang bergelora menghidupkan kembali sepak bola. Padahal, mereka ada di bagian yang seelemen dengan PSSI, yaitu olahraga."

Dua contoh itu sama-sama menyalurkan rasa kecewa, tetapi dengan cara yang berbeda. Contoh pertama, jelas itu adalah olok-olok. Itu seperti ketika seorang siswa yang mengatakan ke siswa lain dengan dua kata, "Dasar goblok!"

Kalau sudah demikian, kita wajib menyadari bahwa mengkritik itu sangat tidak mudah. Selain harus ikhlas, punya modal sekalipun sedikit, juga harus bisa mempertimbangkan bagaimana tata bahasa yang digunakan.

Selain itu, kritikan juga selalu dianggap kurang cantik, karena jika dibaca sekilas akan menimbulkan kekecewaan. "Sudah dikasih hati kok meminta lainnya", ibaratnya begitu kalau membaca kritikan secara sekilas.

Namun, pada kenyataannya kritikan itu tetap menjadi bagian dari sebuah tindakan yang sudah telanjur ada. Seperti yang sudah disampaikan sebelumnya, bahwa kritik itu adalah apresiasi. Berarti, harus ada sesuatu dulu, baru diapresiasi.

Saya juga tidak mengaitkan kritik dengan perempuan, hanya karena ada istilah cantik. Kurang cantik yang saya sematkan pada kritik bukan merujuk pada perempuan, melainkan pada kritik itu sendiri.

Kritik tidak bisa disamakan dengan objek apa pun--apalagi subjek, karena kritik adalah harga. Harga yang biasanya untuk menebus sesuatu yang layak ditebus. Entah, tanpa diskon atau dengan diskon.

Tetapi, seperti yang saya ungkap pada judul, kritik itu meskipun kurang cantik, tetap menggoda banyak orang untuk melakukannya. Banyak orang yang langsung mencoba membuat kritikan sekalipun belum tahu aturan main kritik.

Saya sebenarnya juga kurang tahu, karena tata bahasa yang saya anggap sebagai kunci krusial juga masih rancu kalau ditelaah dengan sentimental, alias perasaan. Seandainya, tata bahasa ditelaah dengan kinerja kepala saja, kritik itu benar, alias takperlu repot menyewa pengacara untuk menjebloskan si pengkritik atas dalih "pencemaran nama baik".

Ilustrasi penangkapan orang terduga sebagai pengkritik. Gambar: Toto Sihono via Kompas.com
Ilustrasi penangkapan orang terduga sebagai pengkritik. Gambar: Toto Sihono via Kompas.com
Berbeda, jika orang yang membaca kritik itu dengan perasaan. Misalnya, saya sebagai penulis yang sudah meluangkan waktu 1 jam untuk memikirkan, menulis, menyunting, dan mengunggah artikel ini.

Kemudian, setelah terpublikasi, saya membaca sebuah komentar begini, "Tulisannya ruwet! Cobalah menulis seperti si Anu. Dia tulisannya anjay banget. Aku suka!"

Bagaimana tanggapan saya?

Saya yang sebagai penulis dan sedang merasa "berjasa", akan berpikir bahwa pembaca ini hanya kaum pembaca judul atau pepatah (quote) thok. Namun, sebagai penulis yang sudah melupakan rasa capai dalam menulis, akan berpikir bahwa orang itu mungkin benar.

Jika saya menjadi "sisi kedua", maka saya akan mencoba kembali membaca tulisan saya. Kalau memang ruwet, berarti kritikan itu tepat.

Saya sebut kritikan, karena ada tiga kalimat yang tertera di komentar tersebut. Salah satunya memberikan rujukan--dasarnya kritik--terhadap apa yang kira-kira lebih bagus dan bisa dipelajari serta diterapkan.

Memang, rujukan itu seperti subjektif. Tetapi, perlu diingat, semua pernyataan yang kita ungkap di media sosial termasuk blog pribadi, itu sudah tergolong subjektif, sekalipun kita sudah mencantumkan banyak kutipan.

Objektivitas menjadi semu, sekalipun dalam bentuk "kutipan dalam kutipan".

Misalnya, saya menganggap tulisan si Anu yang dirujukkan oleh pembaca saya adalah tulisan yang bagus, maka saya masih tetap subjektif sekalipun sudah mengutip (menyetujui) pemikiran si pembaca (orang lain). Saya setuju, tetapi belum tentu orang yang berbeda dari saya dan si pembaca tersebut akan setuju kalau dihadapkan pada bacaan si Anu.

Artinya, saya sudah meletakkan subjektivitas saya di dalam objektivitas dari dua orang yang sama-sama setuju kalau tulisan si Anu lebih "anjay", daripada tulisan saya yang ruwet.

Dari sini, apakah sudah puas membaca tulisan saya seputar kritik? Kalau pembaca bingung mencari benang merahnya, maka ingatlah pada dua kata ini, "tulisannya ruwet!"

Malang, 11 Februari 2021
Deddy Husein S.

Terkait: Kompas.tv, Kompas.com 1, 2, KBBI.web.id, Dictionary.com.

Tersemat: KBBI

Contoh kritik:
Mengapa PSSI Lemah Literasi?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun