Jika ada di antara kita yang sedang menggandrungi Atalanta, tentu kabar kepergian Alejandro 'Papu' Gomez dari Atalanta seperti kabar buruk. Bagaimana tidak, Papu Gomez dan Atalanta sudah seperti bagian yang sulit dipisahkan, karena keduanya sudah bersama selama 7 tahun.
Namun, apa daya bagi Papu dan juga sebenarnya bagi Atalanta, bahwa mereka harus berpisah. Perpisahan mereka terjadi tanpa dinyana, karena musim 2020/21 masih belum berakhir, tetapi sudah muncul konflik di tengah perjalanan.
Atalanta tentu masih membutuhkan jasa Papu Gomez. Tetapi, di satu sisi Atalanta juga sangat butuh Gian Piero Gasperini, yang merupakan pelatih perintis kedigdayaan Atalanta dalam beberapa musim terakhir.
Sejak Gasperini tiba di Bergamo, Atalanta mulai menanjak. Performanya tidak jarang membuat penggemar sepak bola terkagum-kagum.
"Apakah ini Inter Milan atau Atalanta?"
Kira-kira demikian lelucon yang muncul di media sosial ketika penampilan Atalanta terkadang terlihat lebih garang daripada Inter Milan. Bahkan, langkah mereka di perempat final Liga Champions 2019/20 masih lebih diapresiasi daripada keberhasilan Inter Milan menembus final Liga Europa di musim yang sama.
Pujian untuk mereka juga masih bergema di musim 2020/21, karena Inter Milan malah angkat kaki dari kompetisi Eropa setelah finis di dasar klasemen Liga Champions. Sedangkan, sang "Inter KW" malah lolos ke fase 16 besar sebagai pengisi posisi kedua (runner-up). Bagus, kan?
Pencapaian semacam itu membuat Atalanta seharusnya makin tenang, karena mereka masih bisa dikatakan konsisten untuk menjadi tim kuda hitam Eropa. Sangat berbeda dengan Inter Milan yang masih hanya 'menitip presensi' di fase grup dalam dua musim terakhir.
Tetapi, harapan untuk bertahannya harmoni di rumah tangga Atalanta ternyata harus terganggu oleh konflik internal yang melibatkan dua sosok pentingnya. Gasperini dan Papu. Pelatih dan sang kapten. Wow!
Publik pun menunggu pihak petinggi Atalanta dalam mengambil keputusan. Apakah mereka pro Gasperini atau Papu?
Meski demikian, mereka punya syarat untuk membuat Papu tidak menyeberang ke klub rival, seperti AC Milan dan Inter Milan. Seandainya, dia berseragam Inter mungkin dia akan merasa masih bermain di Atalanta. Hehe.
Kini, Papu resmi berseragam "putih" Sevilla. Dia ditebus dengan hanya 8,5 juta Euro dan memperoleh kontrak 3,5 tahun.
Faktor harga murah bukan hanya karena usia Papu yang sudah 32 tahun, melainkan karena pihak Atalanta ingin segera memisahkan Papu dengan Gasperini. Mengapa?
Karena, dengan masih adanya konflik internal, maka konsentrasi klub akan terpecah dan dapat berlarut-larut. Ini seperti Arsenal dengan Mesut Ozil, yang sempat membuat adanya dua kubu. Satu kubu pro Ozil, satu kubu pro Arteta.
Situasi semacam itu tentu mengganggu konsentrasi pemain di lapangan. Termasuk sang pelatih yang harus terganggu dengan sentimentil dalam urusan meracik strategi.
Akhirnya, keputusan Atalanta melepas Papu adalah tindakan tepat. Sekalipun, Papu adalah pemain penting di Atalanta, mereka berani bermain tanpa Papu.
Para pemain pun terlihat tetap menghormati Gasperini, karena mereka masih percaya dengannya dan karena pihak petinggi klub juga cepat mengambil keputusan.
Berdasarkan pengalaman Atalanta ini, saya berpikir bahwa semua klub juga bisa belajar dari Atalanta. Berani melepas ketergantungan pada sosok penting dan berani menentukan keberpihakan pada salah satu kubu yang dinilai lebih tepat untuk dipertahankan.
Ini seperti ketika Manchester United sedang menghadapi konflik internal antara Jose Mourinho dengan Paul Pogba. Perbedaannya, Man. United memilih Paul Pogba, bukan Mourinho.
Walaupun, saya juga tidak tahu bagaimana nasib Man. United jika mereka memilih keputusan yang berbeda. Karena, setiap keputusan pasti ada konsekuensinya masing-masing.
Meski demikian, jika saya berada di dalam lingkup Atalanta, saya juga akan memilih pro Gasperini. Alasannya, Atalanta bisa seperti saat ini sebagian besar karena Gasperini.
Sekalipun Papu adalah kapten, dia bukan pihak yang akan selalu siap bermain dengan siapa saja dan dengan strategi apa saja. Berbeda dengan Gasperini. Dia pasti sudah siap dengan pemain yang diincar dan yang dimainkan.
Gasperini pasti melakukan riset lebih dalam, daripada Papu yang akan lebih fokus ke eksekusi taktik. Dan di sisi lain, mengeksekusi taktik di lapangan tidak hanya menjadi beban Papu, melainkan juga semua pemain Atalanta yang ada di lapangan.
Bahkan, sosok super-sub seperti Luis Muriel juga memiliki beban menjalankan taktik Gasperini walau sering bermain di babak kedua. Artinya, keberadaan pelatih yang sudah tepat bagi sebuah klub sebaiknya dipertahankan, alih-alih memilih pemain yang belum tentu dia dapat menyetel dengan pelatih baru.
Lalu, bagaimana dengan Antonio Conte dan Christian Eriksen? Atau, bagaimana dengan PSG dan Thomas Tuchel?
Ah, itu cerita lain. Mungkin, nanti akan saya tulis juga tentang itu.
Inti dari tulisan ini adalah dalam menentukan keputusan, sebaiknya memilih "variabel" yang paling kuat. Khusus dalam urusan sepak bola, menurut saya sosok pelatih adalah pihak paling kuat. Seburuk-buruknya pelatih, ia pasti sudah siap untuk membuat langkah terlebih dahulu daripada pemainnya.
Itulah mengapa, saya salut dengan Atalanta yang berani memilih Gasperini daripada Papu, walaupun sebagai penonton saya tentu ingin melihat Papu tetap di Atalanta. Tetapi, jika melihat performa Atalanta di perempat final Coppa Italia (27/1), saya yakin bahwa keputusan Atalanta benar.
Kalaupun kemudian, Atalanta tidak mencapai posisi 4 besar di liga seperti musim sebelumnya, saya pikir itu adalah konsekuensi dari ketiadaan Papu. Dan, seharusnya Atalanta mampu menempatkan pemain di posisi yang ditinggalkan Papu.
Papu bisa sehebat sekarang juga karena proses. Maka, pemain yang mengisi posisi Papu juga bisa menjadi hebat karena proses.
Jadi, tetap semangat "Inter KW" (Atalanta)! Kepada Papu, selamat bermain di suasana baru!
Malang, 29-30 Januari 2021
Deddy Husein S.
Terkait: Detik.com 1, Bola.com, Detik.com 2.
Tersemat: Bola.net, Detik.com, KBBI.web.id, Kompas.com, Viva.co.id.
Baca juga:Â
1. Sensasi Atalanta di Liga Champions, Tercoreng Konflik Internal (Yudi Kurniadi)
2. Atalanta, Saatnya untuk Re-Branding! (Alip Yog Kunandar)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H