Membaca kata 'belajar' sering "menjerumuskan" pikiran saya pada kata 'sekolah'. Itu juga terjadi saat saya membaca dua kata 'kembali belajar'. Pikiran saya langsung seperti seorang penjelajah waktu yang mampu memundurkan waktu beberapa tahun lalu demi menengok masa saya kembali belajar.
Padahal, seharusnya tidak seperti itu. Belajar juga ada di luar kata sekolah. Salah satu yang pasti namun sering dilupakan sejenak atau malah tidak disadari adalah kata 'kehidupan'.
Kehidupanlah yang sebenarnya paling banyak menyita waktu kita untuk terus belajar. Kehidupan pula yang mampu membuat kita kembali belajar.
Termasuk saat kita memasuki tahun yang baru (2021) dengan keadaan yang belum sepenuhnya pulih dari pandemi Covid-19. Pandemi ini pula yang membuat kita harus kembali seperti "murid di sekolah". Membuka buku dan membaca banyak informasi.
Bahkan, informasi itu tidak hanya lewat buku konvensional, melainkan juga buku digital. Adaptasi pun diperlukan dalam upaya kembali mempelajari cara untuk dapat bertahan di tengah pandemi.
Ini juga menjadi tantangan besar bagi pemuda, alias tidak hanya kaum tua yang keteteran untuk memasuki pola hidup yang bisa dikatakan baru, khususnya di Indonesia. Kaum pemuda pun kerepotan. Mengapa?
Karena, kaum pemuda biasanya masih ingin bersantai, termasuk dalam hal belajar. Belajar yang santai adalah belajar yang hanya untuk memenuhi rasa ingin tahunya dan kesenangannya, bukan yang lain.
Namun, ketika pandemi Covid-19 muncul dan mengubah banyak sistem, salah satunya adalah sistem pendidikan, maka para pemuda tidak lagi belajar untuk memenuhi rasa ingin tahunya. Mereka mulai harus belajar untuk mengejar tanggung jawabnya.
Tanggung jawab yang dimaksud ini bukan hanya tentang tanggung jawab belajar untuk mencerdaskan diri, melainkan juga belajar untuk mencerdaskan orang lain, khususnya orang sekitar.
Kita ambil contoh pada seorang pemuda, entah dia laki-laki/perempuan. Pilih salah satu sesuka imajinasi pembaca.
Pemuda ini ternyata merupakan generasi milenial akhir di dalam rumahnya. Ayah-ibunya terpaut 20-an tahun dengannya. Dan, "sedikit nahas", dirinya punya adik yang terpaut 20 tahun darinya. Wah!
Mungkin, ada pembaca yang mulai menganggap ini ilustrasi yang terlalu mengada-ada. Tetapi, anggap saja ini memang ada.
Lalu, berhubung dia generasi milenial, maka dia dianggap lebih pintar dan memang sangat diandalkan dalam urusan teknologi, khususnya teknologi digital. Dari yang diminta mencarikan provider terbaik untuk WiFi rumah, memilihkan layanan menonton film/serial legal, sampai juga pada perihal yang sedang tren saat ini, yaitu membantu proses belajar dari rumah.
Tidak jarang, ketika ibunya yang seorang guru terlihat kesulitan membuat sesi pembelajaran lewat layanan pertemuan daring, dia juga yang menguruskan. Termasuk ketika adiknya kurang paham cara mengunggah tugas sekolah, maka dialah yang mengunggahnya.
Karena, ketika dulu dia belajar tentang teknologi digital, dia juga melakukannya dengan cara bermain. Bermain dengan media sosial ketika dia masih sekolah, dan sering disusul ibunya agar pulang dari warnet. Juga, bermain gim di ponsel pintar pertamanya yang dibelikan ayahnya.
Saat masa belajarnya itulah dia hanya melakukan apa yang diinginkan, alias apa yang sangat menggugah semangatnya. Tetapi, kini dia sudah tidak bisa hanya bersembunyi di balik tirai belajar, karena khusus untuk teknologi digital, dia sudah dianggap lebih bisa daripada yang lain di rumahnya.
Memang, rasanya seperti kurang adil, karena kemarin dia bermain medsos dilarang, dan bermain gim pun sering dihukum 3M; menyapu, mengepel, dan mencuci perabotan dapur. Tetapi, sekarang dia malah diharuskan membantu orang rumah untuk menguasai teknologi yang sebelumnya dianggap candu belaka.
Dari situlah kemudian, ada satu hal yang perlu dipelajari lagi oleh si pemuda, yaitu sabar. Kemarin, dia bersabar untuk tidak mengorbankan rasa hormat kepada orang tua. Sekarang, dia juga bersabar untuk membantu keluarga agar mentas sebagai keluarga yang melek digital.
Tidak hanya bisa menggunakan, tetapi juga harus cerdas dalam menggunakan teknologi digital. Itulah yang kemudian diharapkan dapat dilakukan oleh para pemuda yang bisa saja dianggap sebagai andalan rumah untuk mengarungi masa pandemi ini.
Yuk, kembali belajar sabar, pemuda. Siapa tahu, nanti akan ada imbalannya. Minimal, selalu dapat top-up gratis langganan premium layanan musik dan film/serial legal dari orang tuanya. Asyik, kan?
Deddy Husein S.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H