Nyaris setiap tahun, kita selalu pernah tertawa. Tetapi, apakah pernah Indonesia juga tertawa? Mungkin pernah. Khususnya, ketika Indonesia merayakan hari kemerdekaan dengan mengadakan lomba Agustusan, alias beragustusan.
Saat seperti itu, saya yakin Indonesia tertawa. Semua orang akan tertawa di balik kelucuan para peserta lomba yang biasanya sangat serius untuk memenangkan lomba, sedangkan--tanpa sadar--aksinya selalu konyol.
Hanya, momen seperti itu juga mulai tergerus oleh zaman. Sekarang, lomba Agustusan harus berpacu dengan kemajuan. Akhirnya, lombanya menjadi semakin serius dan prestisius.
Saya menganggap lomba e-sports yang mulai marak digelar di momen Agustusan menjadi sulit untuk membuat orang tertawa. Saat kita menonton mereka yang berlomba, apakah ada yang tertawa? Tentu tidak.
Begitu juga dengan pesertanya. Bahkan, kalau mulut susah direm, bisa saja terceplos kata-kata penuh nama penghuni kebun binatang, karena refleks kecewa.
Artinya, berkembangnya kehidupan kita semakin memengaruhi tingkat keseriusan kita dalam menjalani kehidupan sehari-hari. Termasuk saat ingin mencari hiburan.
Misalnya, dengan bermain gim. Justru saat seperti itu, kita semakin menambah tekanan pada pikiran. Padahal, niatnya tadi ingin mencari hiburan. Dan, nahasnya Indonesia pun begitu.
Semakin ke sini, segala hal yang seharusnya dianggap remeh malah dibawa ke ranah serius. Lucunya, yang serius malah dianggap bercanda. Itu yang membuat Indonesia tidak kunjung tertawa.
Bagaimana bisa tertawa kalau mau tertawa harus mikir dulu. "Ini serius atau guyon?"
Saya pun kadang begitu. Ketika membaca selentingan kabar di media sosial kadang harus saya cermati, apakah ini valid atau tidak.
Jika valid, berarti saya senang karena mendapatkan informasi baru. Tetapi jika tidak valid, saya kecewa, karena harus menambah pekerjaan saya untuk mencari kebenarannya.
Itulah mengapa, saya semakin jarang tertawa ketika membuka media sosial, kecuali Youtube. Sudah beberapa kali saya mengungkap pandangan saya terkait Youtube, bahwa platform ini sebenarnya lebih tepat disebut media kreatif dibanding media sosial.
Namun, saya juga memaklumi perkembangan Youtube saat ini yang sudah menyerupai media sosial. Itu menandakan bahwa media sebesar Youtube saja harus tunduk dengan permintaan pasar.
Walau begitu, saya masih lebih senang membuka Youtube daripada membuka medsos lain. Itulah mengapa, kalau saya sedang tidak ada kepentingan di dalam medsos pasti tidak akan saya buka.
Lalu, apakah Indonesia harus meniru saya?
Tentu saja tidak. Indonesia harus tetap membuka pintu dan jendelanya. Karena, itu justru lebih baik, daripada semakin tertutup dan mencari keasyikan sendiri. Nanti makin ketinggalan zaman!
Indonesia juga bukan untuk menghidupi satu orang, satu karakter, dan satu selera. Indonesia menghidupi lebih dari itu. Itulah mengapa, jangan meniru saya.
Walaupun demikian, saya juga tidak pelit untuk berbagi satu hal yang mungkin bisa diadaptasi oleh Indonesia dari apa yang biasanya saya lakukan. Apa itu?
Indonesia butuh ngopi agar dapat tertawa, seperti saya ketika ingin tertawa. Biasanya ketika kepala saya sudah semakin pekat isinya, maka saya butuh ke luar dan ngopi.
Tetapi, dengan saya pergi ngopi pikiran saya menjadi lebih terbuka dan cair. Saya menjadi tidak mudah tersinggung, dan bisa tertawa.
Ibarat air beku di kotak pembeku yang akhirnya mencair lagi setelah dikeluarkan untuk dicampur dengan sepoci teh. Segar, kan?
Jika kepala sudah segar, maka kita bisa menerima segala hal dengan tepat. Atau, walaupun hal-hal itu bisa saja kurang tepat, tetapi bisa dibelokkan menjadi tepat.
Misalnya, ketika saya ngopi dengan teman yang hobi bersantap Saksang, maka saya akan tertawa dengan topik pembicaraannya tentang beredarnya foto mi instan rasa Saksang. Saya pun akan menimpalinya dengan topik yang lebih valid, yaitu tentang berkunjungnya Perdana Menteri India ke Masjid Istiqlal dan memukul beduk yang tentunya terbuat dari kulit Sapi.
Tentu, pembaca tahu maksud saya. Tetapi, hal itu tidak menjadi permasalahan, karena kami tahu bahwa itu adalah sarana kami untuk berbagi informasi.
Saya menganggap informasi yang diberikan teman ngopi saya itu penting, walau receh. Karena itu, saya juga dengan baik hati membagikan informasi penting kepada teman saya, walau pembawaan saya tidak selucu teman saya.
Akhirnya, gelegak tawa mengisi nyaris seruangan warung kopi yang kala pandemi biasanya tidak ramai. Bahkan, terkadang hanya saya dan teman saya yang ngopi.
Seolah kami sedang menjadi orang kaya yang mampu menyewa warkop itu untuk (misalnya) merayakan Tahun Baru. Asyik, kan?
Jadi, kalau Indonesia butuh ketawa, buatlah agenda--yang menyerupai--ngopi. Karena dari sanalah Indonesia juga akan menemukan adanya pertukaran informasi yang bisa disikapi dengan kepala lebih jernih.
Kalau sudah begitu, tawa pun akan muncul dengan lepas tanpa kehilangan makna, bahwa hidup harus terus mencari informasi, mempelajarinya, dan mengamalkannya. Mari Indonesia, kita ngopi untuk tertawa bersama. Ha-ha-ha-ha!
Deddy Husein S.
Maaf, tulisan ini tidak ada unsur humornya. Karena saya bukan penulis cerita lucu. Semoga, pembaca menemukan tulisan lain yang mampu mengocok perut. Semangat!