Tetapi, dengan saya pergi ngopi pikiran saya menjadi lebih terbuka dan cair. Saya menjadi tidak mudah tersinggung, dan bisa tertawa.
Ibarat air beku di kotak pembeku yang akhirnya mencair lagi setelah dikeluarkan untuk dicampur dengan sepoci teh. Segar, kan?
Jika kepala sudah segar, maka kita bisa menerima segala hal dengan tepat. Atau, walaupun hal-hal itu bisa saja kurang tepat, tetapi bisa dibelokkan menjadi tepat.
Misalnya, ketika saya ngopi dengan teman yang hobi bersantap Saksang, maka saya akan tertawa dengan topik pembicaraannya tentang beredarnya foto mi instan rasa Saksang. Saya pun akan menimpalinya dengan topik yang lebih valid, yaitu tentang berkunjungnya Perdana Menteri India ke Masjid Istiqlal dan memukul beduk yang tentunya terbuat dari kulit Sapi.
Tentu, pembaca tahu maksud saya. Tetapi, hal itu tidak menjadi permasalahan, karena kami tahu bahwa itu adalah sarana kami untuk berbagi informasi.
Saya menganggap informasi yang diberikan teman ngopi saya itu penting, walau receh. Karena itu, saya juga dengan baik hati membagikan informasi penting kepada teman saya, walau pembawaan saya tidak selucu teman saya.
Akhirnya, gelegak tawa mengisi nyaris seruangan warung kopi yang kala pandemi biasanya tidak ramai. Bahkan, terkadang hanya saya dan teman saya yang ngopi.
Seolah kami sedang menjadi orang kaya yang mampu menyewa warkop itu untuk (misalnya) merayakan Tahun Baru. Asyik, kan?
Jadi, kalau Indonesia butuh ketawa, buatlah agenda--yang menyerupai--ngopi. Karena dari sanalah Indonesia juga akan menemukan adanya pertukaran informasi yang bisa disikapi dengan kepala lebih jernih.
Kalau sudah begitu, tawa pun akan muncul dengan lepas tanpa kehilangan makna, bahwa hidup harus terus mencari informasi, mempelajarinya, dan mengamalkannya. Mari Indonesia, kita ngopi untuk tertawa bersama. Ha-ha-ha-ha!