Maklum, ketika saya masih mengalami alergi, kulit tubuh saya penuh luka. Itu yang membuat saya pernah dianggap kudisan. Padahal bukan. Itu pula yang membuat saya memahami bahwa masih banyak orang yang tidak tahu apa itu alergi. Sungguh memprihatinkan.
Setelah berhasil menaklukkan telur, tahap "bermain" saya tiba pada arena "Ayam Goreng". Beruntung, saya lebih tua dari Ipin, sehingga saya sudah tidak iri dengan Ipin kalau dia sedang makan menu favoritnya itu.
Ternyata laju pertempuran saya dengan ayam goreng berhasil mengeluarkan saya sebagai pemenangnya. Tubuh saya menjadi ramah dengan potongan-potongan daging ayam yang biasanya juga tersajikan di acara-acara pernikahan di kampung.
Berdasarkan keberhasilan itu, saya pun resmi menjadi orang yang bisa mengonsumsi asupan protein dari mana saja. Bahkan, termasuk makanan laut. Tetapi, khusus yang ini saya masih menganggap level kesulitannya 50-50.
Menurut saya--berdasarkan yang tubuh saya alami, kadar protein pada makanan laut lebih tinggi dari ayam dan telur. Selain itu, saya juga sedang tidak tinggal di daerah yang sumber daya alamnya menyajikan ikan sebagai "teman hidup" sehari-hari. Itulah yang membuat saya masih belum akrab seperti dengan ayam dan telur.
Benar, sekarang saya sudah menjadikan ayam dan telur sebagai teman saya. Walau, sepertinya telur yang lebih akrab dengan saya. Karena, dia lebih sering mampir di piring, dan harganya juga masih terjangkau.
Tetapi, kalau sebelum makan mata memandang potongan kepala ayam, saya menjadi teringat dengan puluhan ayam yang pernah menjadi teman saya di rumah sewaktu kecil. Maaf ya, Yam. Nyam-nyam-nyam.
Saya bisa seperti sekarang sangat membutuhkan proses. Butuh kesabaran untuk menahan diri dari godaan mencicipi daging ayam dan telur, walau adakalanya pula saya bandel.