Rasanya konyol jika memikirkan alasan itu. Karena, semepet-mepetnya orang kala terjepit akibat pandemi, seharusnya tetap memikirkan cara yang benar untuk mendapatkan uang.
Begitu pun dengan risiko di kemudian hari, apakah orang itu bisa selamat dari kejaran polisi? Apakah hidupnya akan aman dan tenteram pasca menikmati hasil pencurian tersebut?
Belum lagi jika ini dikaitkan dengan mitologi terkait teror orang meninggal. Apakah para pencuri itu bisa tenang dari ancaman teror arwah Rossi?
Dari pertanyaan-pertanyaan itu kemudian muncul pula pertanyaan pamungkas saya, yaitu ke manakah nurani si pencuri? Adakah sisa-sisa kemanusiaan di lubuk logikanya?
Jika memang berbicara tentang pandemi covid-19 yang mampu merusak segala tatanan kehidupan, maka tidak hanya si pencuri itu yang kelaparan. Banyak orang yang mengalami nasib serupa.
Bahkan, di Indonesia saja masyarakatnya mengenal kebiasaan kerokan atau pun minum air hangat untuk menghilangkan gelembung-gelembung udara di lambung. Atau, setidaknya untuk membuat lambung tetap bekerja tanpa menggerus dinding lambung dengan memberikan asupan minuman-minuman hangat.
Itu masih soal kebutuhan pangan, bagaimana dengan kebutuhan lain?
Ada kebutuhan krusial lain seperti listrik, air, pendidikan, dan kesehatan. Minimnya pemasukan kala pandemi membuat orang banyak kesulitan membayar beban listrik, air, dan pendidikan.
Begitu pula dengan kesehatan. Semakin minim pemasukan, makin minim pula asupan gizi untuk tubuh. Orang pun bisa sakit karena merosotnya kesejahteraan, bukan karena terkena virus Corona.
Itu artinya, banyak orang sedang menjerit karena kebutuhannya semakin terjepit. Tetapi, apakah orang-orang itu harus mencuri?