Jika berbicara tentang sepak bola saat ini, pasti pikirannya ada tiga; bola, Cristiano Ronaldo, dan Lionel Messi. Tiga hal itu paling mudah untuk diucapkan oleh siapa pun.
Bola sudah pasti disebut, karena dialah yang dimainkan dan direbutkan oleh 22 pemain di lapangan. Bola juga sering menjadi headline bagi netizen dan pundit sepak bola ketika ada kontroversi di dalam kotak penalti.
Biasanya ketika seperti itu pembahasannya tidak jauh dari perihal bola yang "menghampiri" tangan dan bola yang sudah/belum melewati garis gawang. Namun, saat ini perdebatan itu bisa mereda, karena ada dua teknologi yang datang di lapangan, yaitu Video Assistant Referee (VAR) dan Goal Line Technology (GLT).
Jika perbincangan tentang bola bisa pasang-surut, maka ada perbincangan lain yang masih belum mengalami penyusutan, yaitu tentang Cristiano Ronaldo dan Lionel Messi. Dari kalangan tua ke muda dan lelaki ke perempuan, mereka tidak akan segan untuk menyebut nama dua pemain hebat tersebut.
Tahun ini pun nama keduanya tetap hangat diperbincangkan. Apalagi, keduanya kembali bertemu di Liga Champions setelah Barcelona dan Juventus berada di satu grup.
Pertemuan di lapangan pun akhirnya terjadi pada pertandingan terakhir fase grup di Camp Nou (9/12). Perbandingan kemudian kembali mengemuka tentang siapa yang paling berpengaruh di klubnya dan di laga tersebut.
Berdasarkan laga itu, perbincangan tentang dua pemain tersebut pasti akan berlangsung sampai sepekan ke depan. Kubu penggemar Cristiano Ronaldo akan mengatakan idolanya masih lebih baik, sedangkan kubu penggemar Lionel Messi akan menganggap Messi masih bekerja sendirian.
Entah, mana yang paling valid. Karena, sampai kedua pemain itu pensiun pun pasti masih akan ada perbincangan tentang keduanya termasuk hasil akhir pencapaian keduanya nanti.
Tetapi selain itu, ada topik lain di dalam sepak bola yang juga diprediksi masih akan 'abadi', yaitu rasialisme atau yang familiar disebut rasisme. Rasialisme adalah istilah yang melingkupi tindakan-tindakan rasial atau yang juga familiar disebut rasis. Bisa meliputi warna kulit, perbedaan ciri-ciri tubuh lainnya, sampai juga pada agama.
Sebenarnya sepak bola sudah semakin galak dengan hal-hal berbau rasis. Sanksi dan denda tidak pernah absen dan tidak mau ditawar ketika ada tindakan rasis.
Tetapi, tindakan ini akan terus ada dan bisa disebut kanker, karena sulit dihilangkan dari tubuh sepak bola. Mengapa bisa demikian?
Satu faktor penyebab yang paling utama adalah tensi permainan. Apa yang terjadi di lapangan bisa memengaruhi pikiran. Saat seperti itu muncullah emosi. Emosi yang membesar bisa membuat tensi permainan menjadi tinggi.
Ketika tensi tinggi muncullah tindakan-tindakan yang salah satunya adalah provokasi. Provokasi bisa berupa verbal maupun nonverbal.
Provokasi secara verbal bisa berupa kata-kata yang menyinggung antar pemain, juga bisa berupa protes kepada wasit/ofisial pertandingan. Sedangkan yang nonverbal paling mudah terlihat adalah munculnya pelanggaran-pelanggaran keras.
Namun, bisa juga dengan tindakan lain, seperti menendang bola ke luar saat ada pelanggaran dan itu sebenarnya untuk keuntungan lawan. Atau, tetap melanjutkan permainan ketika wasit meniup peluit.
Hal-hal semacam itu bisa memancing reaksi pada kubu yang merasa dirugikan. Ketika hal itu terjadi dan sulit terkontrol, maka kata-kata yang akan meluncur deras adalah kata-kata rasis.
Faktor lain yang bisa pula menjadi penyebab terjadinya rasis adalah kualitas pemain. Ada pemain-pemain yang memang tidak berkulit cerah namun teknik bermainnya sangat mumpuni, salah satunya adalah Neymar Jr.
Pemain asal Brasil yang kini membela klub Paris Saint-Germain itu dikenal sebagai pemain berketerampilan luar biasa. Akibatnya, dia sulit dikawal oleh pemain bertahan lawan.
Jika Neymar sulit dihentikan secara teknik permainan, maka bisa saja permainannya dihentikan dengan cara memancing emosinya. Tindakan itu pernah terjadi di Ligue 1 dan membuat Neymar terpancing emosinya.
Tetapi, ada satu faktor lain yang bisa menjadi penyebab paling mendasar yang sebenarnya tidak hanya pada sudut pandang sepak bola, tetapi juga secara luas. Faktor itu adalah mudahnya orang mengagumi sosok karena fisik.
Contohnya ketika Cristiano Ronaldo sukses menjadi pemain bintang dan dia semakin pandai berdandan, apa yang dipuji oleh penggemarnya? Ketampanannya.
Orang akan cenderung like or dislike karena fisik, bukan pada keterampilan. Bisa saja ada 1:1000 orang yang mau mengagumi pesepak bola karena murni permainannya, bukan fisik. Misalnya, dengan mengagumi Thierry Henry yang pernah berjaya di Arsenal.
Tetapi, kita harus melihat juga bahwa 1000 orang itu akan menganggap Henry sebagai pesepak bola, bukan idola. Maksudnya, idola itu tidak hanya menjadi panutan tentang kualitas sebagai pesepak bola, tetapi juga bisa dikagumi tanpa harus melihat kemampuan bermain sepak bolanya.
Selain itu, penyebab munculnya indikasi rasis adalah mengumpamakan wajah dan warna kulit sebagai sampul. Seperti buku yang terkadang sangat mudah untuk membuat daya pikat melalui sampulnya.
Bahkan, tangan orang-orang yang mengunjungi toko buku atau bazar buku, akan lebih cepat menyentuh dan menimang-nimang buku yang bersampul menarik daripada yang biasa saja.
Memang, itu sebenarnya relatif, karena ada sangkut-paut selera di sana. Tetapi, selera terkadang dapat dipengaruhi, alias bisa dibentuk oleh sosial-lingkungan.
Itulah yang juga terjadi di sepak bola dan kemudian mendasari penyebab sepak bola bisa "merawat" rasisme. Salah satunya adalah sosial-lingkungan di tempat sepak bola itu berada.
Walaupun peraturan sepak bola terkait rasisme sudah ditegakkan, tetapi pola pikir yang mendasari sosial-lingkungan masih berkutat pada penilaian fisik, maka tindakan rasis tetap ada. Entah, secara eksplisit (disadari) atau implisit (tidak disadari).
Itulah mengapa, penyebab utamanya rasis pada sepak bola bukan tentang suka dan tidak suka dengan fisik, melainkan karena situasi. Ketika situasinya sedang memanas, maka kendali terhadap norma saling menghormati sesama akan sulit dijaga.
Lalu, bagaimana dengan kejadian di laga PSG vs Istanbul Basaksehir (9/12)?
Ternyata orang yang dimaksud adalah Pierre Webo, asisten pelatih Basaksehir. Namun, permasalahannya bukan di situ, melainkan ucapan dari ofisial saat menunjuk Webo.
PSG and Istanbul Basaksehir was suspended after a match official was accused of racism. It will now be played on Wednesday.
( WARNING: This video contains offensive language) pic.twitter.com/5HypNqvirR--- Goal (@goal) December 8, 2020
Ofisial itu menyebut "Ala negru" untuk merujuk pada Webo. Webo yang awalnya hendak protes ke wasit utama, akhirnya malah memprotes ofisial keempat.
Dia tidak terima dengan penggambaran ciri-cirinya, dan itu benar. Karena, meskipun disebutkan bahwa 'negru' adalah bahasa Rumania yang artinya hitam (black), tetapi tetap saja itu berarti menunjuk Webo sebagai orang kulit hitam.
Secara logika memang demikian, Webo berkulit hitam. Tetapi, tidak seharusnya disebut demikian.
Itulah mengapa, argumentasi Demba Ba lebih benar dibandingkan soal kesalahpahaman bahasa yang disebut sebagai alasan dari ofisial. Karena, meskipun 'negru' adalah hitam menurut bahasa Rumania, itu tetap saja menunjukkan ciri secara fisik.
Sama seperti menyebut Webo ke dalam bahasa Inggris, "this black man". Sama-sama berarti hitam, bukan?
Demba Ba telling it how it is!pic.twitter.com/qIZzj5TbDW--- Turkish Football (@Turkish_Futbol1) December 8, 2020
Artinya, tidak ada pembenaran terkait alasan bahasa. Itulah mengapa, penjelasan Demba Ba lebih masuk akal.
Memang, sebaiknya menyebut orang yang tidak diketahui namanya adalah dengan menyebut "this man", sambil menunjuk orangnya. Itu sudah cukup dibandingkan "this black man" atau "this white man".
Meskipun, kejadian rasis ini mencoba menitikberatkan pada kesalahpahaman bahasa, tetapi fokus awalnya tetap pada situasi permainan. Kita sebagai penonton tentu perlu memperhatikan pula penyebab Webo dikartu merah, yang kemudian disusul insiden rasis tersebut.
Saat itu, Webo pasti sedang menciptakan provokasi atau pun protes berlebihan yang membuat dia dicatat oleh ofisial keempat sebagai pelanggaran. Itulah mengapa, pada akhirnya kejadian rasis di laga ini juga masih berawal dari situasi permainan yang mulai menimbulkan perubahan tensi permainan dan provokasi.
Jadi, selama sepak bola masih menghasilkan tensi permainan yang tinggi, maka riak-riak rasisme akan mengintip peluang untuk tampil. Siapa yang lengah, dia yang akan menunjukkan tindakan rasisnya. Entah, sengaja atau tidak.
Semoga, rasisme tidak terus terjadi, agar sepak bola bisa terus dinikmati. Salam bola!
Deddy Husein S.
Terkait:Â Law-justice.co, Libero.id, Detik.com 1, Liputan6.com, Bola.com, Kompas.com, Gilabola.com.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H