Orang akan cenderung like or dislike karena fisik, bukan pada keterampilan. Bisa saja ada 1:1000 orang yang mau mengagumi pesepak bola karena murni permainannya, bukan fisik. Misalnya, dengan mengagumi Thierry Henry yang pernah berjaya di Arsenal.
Tetapi, kita harus melihat juga bahwa 1000 orang itu akan menganggap Henry sebagai pesepak bola, bukan idola. Maksudnya, idola itu tidak hanya menjadi panutan tentang kualitas sebagai pesepak bola, tetapi juga bisa dikagumi tanpa harus melihat kemampuan bermain sepak bolanya.
Selain itu, penyebab munculnya indikasi rasis adalah mengumpamakan wajah dan warna kulit sebagai sampul. Seperti buku yang terkadang sangat mudah untuk membuat daya pikat melalui sampulnya.
Bahkan, tangan orang-orang yang mengunjungi toko buku atau bazar buku, akan lebih cepat menyentuh dan menimang-nimang buku yang bersampul menarik daripada yang biasa saja.
Memang, itu sebenarnya relatif, karena ada sangkut-paut selera di sana. Tetapi, selera terkadang dapat dipengaruhi, alias bisa dibentuk oleh sosial-lingkungan.
Itulah yang juga terjadi di sepak bola dan kemudian mendasari penyebab sepak bola bisa "merawat" rasisme. Salah satunya adalah sosial-lingkungan di tempat sepak bola itu berada.
Walaupun peraturan sepak bola terkait rasisme sudah ditegakkan, tetapi pola pikir yang mendasari sosial-lingkungan masih berkutat pada penilaian fisik, maka tindakan rasis tetap ada. Entah, secara eksplisit (disadari) atau implisit (tidak disadari).
Itulah mengapa, penyebab utamanya rasis pada sepak bola bukan tentang suka dan tidak suka dengan fisik, melainkan karena situasi. Ketika situasinya sedang memanas, maka kendali terhadap norma saling menghormati sesama akan sulit dijaga.