Satu faktor penyebab yang paling utama adalah tensi permainan. Apa yang terjadi di lapangan bisa memengaruhi pikiran. Saat seperti itu muncullah emosi. Emosi yang membesar bisa membuat tensi permainan menjadi tinggi.
Ketika tensi tinggi muncullah tindakan-tindakan yang salah satunya adalah provokasi. Provokasi bisa berupa verbal maupun nonverbal.
Provokasi secara verbal bisa berupa kata-kata yang menyinggung antar pemain, juga bisa berupa protes kepada wasit/ofisial pertandingan. Sedangkan yang nonverbal paling mudah terlihat adalah munculnya pelanggaran-pelanggaran keras.
Namun, bisa juga dengan tindakan lain, seperti menendang bola ke luar saat ada pelanggaran dan itu sebenarnya untuk keuntungan lawan. Atau, tetap melanjutkan permainan ketika wasit meniup peluit.
Hal-hal semacam itu bisa memancing reaksi pada kubu yang merasa dirugikan. Ketika hal itu terjadi dan sulit terkontrol, maka kata-kata yang akan meluncur deras adalah kata-kata rasis.
Faktor lain yang bisa pula menjadi penyebab terjadinya rasis adalah kualitas pemain. Ada pemain-pemain yang memang tidak berkulit cerah namun teknik bermainnya sangat mumpuni, salah satunya adalah Neymar Jr.
Pemain asal Brasil yang kini membela klub Paris Saint-Germain itu dikenal sebagai pemain berketerampilan luar biasa. Akibatnya, dia sulit dikawal oleh pemain bertahan lawan.
Jika Neymar sulit dihentikan secara teknik permainan, maka bisa saja permainannya dihentikan dengan cara memancing emosinya. Tindakan itu pernah terjadi di Ligue 1 dan membuat Neymar terpancing emosinya.
Tetapi, ada satu faktor lain yang bisa menjadi penyebab paling mendasar yang sebenarnya tidak hanya pada sudut pandang sepak bola, tetapi juga secara luas. Faktor itu adalah mudahnya orang mengagumi sosok karena fisik.
Contohnya ketika Cristiano Ronaldo sukses menjadi pemain bintang dan dia semakin pandai berdandan, apa yang dipuji oleh penggemarnya? Ketampanannya.