Entah, ada yang percaya atau tidak, bahwa saya bisa mengetahui tentang Maradona karena ibu saya. Tentu, bukan karena ibu saya mantan atlet bola, tetapi karena wawasannya.
Ibu saya suka membaca koran dan majalah, menonton berita, dan tentunya kini cukup lihai menggunakan ponsel pintarnya. Atas dasar itu, dulu ketika saya masih kecil, telinga saya akrab dengan dongeng darinya.
Selain hal-hal umum, ada hal-hal khusus yang ibu bagikan. Salah satunya adalah tentang bola.
Sepertinya saya pernah mengguratkan sekalimat-dua kalimat tentang kesukaannya terhadap Francesco Totti. Namun, selain nama Totti, ibu juga mengungkapkan nama Maradona.
Benar, dari ibu, saya bisa mengetahui nama Maradona, Mario Kempes, Ruud Gullit, dan tentunya Pele. Bahkan, sebenarnya juga tersisipkan nama Michael Jordan (legenda basket).
Sungguh, kalau ibu saya muda saat ini, pasti akan menjadi primadona di tengah penggemar olahraga/bola. Walau di sisi lain, saya tahu bahwa kesukaan ibu dengan bola tidak seadiksi orang kebanyakan.
Dia tahu batas. Itulah yang kemudian menular ke saya, sedikit.
Salah satunya, tidak fanatik pada satu klub. Bahkan, sampai saat ini saya kurang tahu klub apa yang ia suka, dan saya memang tidak ingin menanyakannya.
Hal itu yang membuat saya terinspirasi. Bukan soal menyembunyikan klub jagoannya, melainkan membuat klub yang bukan idaman juga dapat tempat di dalam proses mengapresiasi pertandingan.
Hal ini yang menurut saya jarang terjadi. Banyak orang masih mengedepankan klub idola jika harus berurusan tentang puji-memuji. Padahal, itu hal sepele.
Tinggal bilang cantik saja kenapa susah, jika memang cantik? Terlepas dari suka atau tidak, kalau memang cantik alangkah baiknya dikatakan demikian.
Begitu pula dalam hal bercerita tentang sepak bola. Ibu saya walau sangat mengedepankan manner, attitude, dan lifestyle, tetapi kalau dia melihat kehebatan pemain itu di lapangan, pasti akan mengatakan pemain itu hebat.
Hanya, dia pasti tidak akan menyukainya. Menariknya, setiap pemain yang dia sukai, rata-rata manner, lifestyle, dan attitude-nya bagus.
Seperti Totti, Bambas Pamungkang (maksudnya Bambang Pamungkas), juga Hendro Kartiko.
Tetapi, untuk pemain seperti David Beckham--dulu sewaktu muda di Man. United, tetap diakui bagus, walau dia tidak suka.
Hal ini kemudian bisa ditebak tentang bagaimana cara ibu saya menceritakan tentang Maradona. Dia mengakui nama besar Maradona.
Bahkan, di kepala saya dulu ada nama Maradona ketika ada kata bola--dan Argentina. Padahal, di usia yang masih kecil, bisa menyebut nama Marco van Basten, Gianfranco Zola, David James, atau Emmanuel Petit, itu sudah bagus.
Tetapi, begitulah anak-anak. Pasti lebih terobsesi dengan hal yang paling pertama diketahui, dibandingkan yang setelahnya.
Saat nama-nama itu mengisi 'kepala bola' saya, di waktu yang sama, kisah tentang Maradona di masa lalu dan masa yang sedang berjalan itu dapat saya ketahui.
Saya pun mengetahui bagaimana statistiknya ketika bersama klub dan timnas. Mengapa nama Maradona lebih identik dengan Argentina daripada Napoli, alih-alih Barcelona.
Berdasarkan pemahaman itu pula, saya juga mengerti mengapa dulu saya hanya diizinkan untuk tahu tapi tidak sampai mengenal dan terobsesi dengan sepak bola. Siapa tahu, ketika saya benar menjadi pesepak bola, saya akan terjebak di situasi-situasi yang rumit.
Dari situ pula, saya memahami bahwa kita harus tahu mana yang disebut kesukaan, dan mana yang disebut masa depan.
Jadi, terima kasih ibu, sudah memperdengarkan nama Maradona. Walau saya tahu, mungkin seharusnya ada orang yang lebih tepat untuk menceritakan tentang Maradona kepada saya.
Tetapi, hal itu rupanya sudah cukup. Karena, percuma juga saya mengenal banyak tentang Maradona, jika saya tidak pernah menontonnya secara langsung saat bermain bola.
Tetapi, bagaimana pun itu, saya tetap sejalan dengan banyak orang, bahwa Maradona adalah legenda besar sepak bola dunia. Dia seperti Pele versi lain, yang sebenarnya merupakan cikal-bakal pemain depan modern saat ini.
Selamat jalan, Diego Armando Maradona. Namamu tetap abadi di pikiran pecinta sepak bola sepanjang masa.
Deddy Husein S.
Terkait:
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H