Mohon tunggu...
Deddy Husein Suryanto
Deddy Husein Suryanto Mohon Tunggu... Penulis - Content Writer

Penyuka Sepak Bola. Segala tulisan selalu tak luput dari kesalahan. Jika mencari tempe, silakan kunjungi: https://deddyhuseins15.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Dari Zaman ke Zaman, Guru Tetap Bekerja Keras

25 November 2020   16:19 Diperbarui: 25 November 2020   17:47 369
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi kaum muda adiksi dengan medsos. Gambar: Pexels/Mikoto.raw

Salah satu alasan di balik sulitnya menjadi guru itu adalah faktor bekerja keras. Memang, semua profesi harus melakukan itu. Tetapi, tanggung jawabnya guru itu terletak pada intisari kehidupan.

Dari seluruh zaman, guru adalah pemikul inti dari keberadaan zaman. Ketika ada zaman kegelapan atau juga ada yang menyebutnya zaman jahiliyah, keberadaan orang-orang yang menjadi guru juga dipertanyakan. Mengapa mereka sampai membiarkan generasi zaman itu terkurung pada kegelapan?

Mungkin, saat itu belum banyak yang menjadi guru. Namun, asumsi saya ketika mengetahui eksistensi orang-orang yang disebut leluhur atau semasa hidupnya bisa disebut tetua/tokoh adat, maka merekalah yang berperan sebagai guru.

Guru pada zaman itu bisa dikatakan sebagai peran, bukan status seperti saat ini. Itu artinya, ketika ada generasi orang-orang yang kesulitan intelektual dan moralnya, maka yang dipertanyakan adalah bagaimana kiprah guru saat itu.

Ketika zaman mulai mengenal agama, tokoh agama adalah guru. Atau, yang paling terdahulunya, yaitu nabi. Maka, nabi adalah guru. Ketika zamannya para nabi lahir, maka saat itu ada dinamika kehidupan.

Ada kegelapan dan ada pencerahan. Sampai kemudian zamannya nabi sudah diwariskan kepada orang-orang biasa yang kemudian lebih mendalami ilmu agama. Itulah kemudian muncul tokoh agama.

Tokoh agama juga melakukan perannya sebagai guru. Mereka harus mencerahkan pikiran individu dan masyarakat.

Sampai tiba pada masanya guru menjadi status yang spesifik. Mengajari para anak dan orang-orang muda, yang kemudian praktiknya juga dikenal sebagai pendidikan.

Gambar: via Bpptik.kominfo.go.id
Gambar: via Bpptik.kominfo.go.id
Pendidikan menjadi gerbangnya setiap orang mengembangkan dan memutar sirkulasi kehidupan. Ketika orang lahir dari zaman ke zaman, maka aktivitasnya seperti itu. Artinya, saat itu juga peran guru tetap ada.

Kehidupan kemudian dipenuhi perubahan. Dari yang lambat sampai yang cepat. Itu pula yang membuat zaman bisa diubah menjadi era. Terlihat lebih dekat, tanpa harus berpikir lebih jauh ketika harus melakukan perbandingan.

Tentu, ketika waktu terus berjalan, setiap orang akan berpikir tentang apa yang akan terjadi ke depan dan apa yang telah terjadi kemarin. Berarti, ada upaya untuk mengukur seberapa besar perubahan yang terjadi pada masa lalu dengan masa depan. Atau, minimal dengan masa sekarang.

Saat melakukan pengukuran dan perbandingan itu kemudian kita menemukan apa saja yang berbeda. Tentu, kita tetap fokus pada pendidikan dan guru.

Saya mengilustrasikannya dengan masa pendidikan 2000-an dengan masa 2010-an awal. Saat itu, saya masih berstatus sebagai pelajar.

Ketika SD, saya mengalami perihal yang sedang menarik dan populer pada anak-anak. Saat itu, hal paling menarik adalah bermain dan membaca komik.

Bermain di sini objeknya seperti ular-tangga, lompat tali, gundu, kartu kwartet, dan lain-lain. Pokoknya permainan yang ada saat itu harus beramai-ramai dan secara langsung berkumpul di satu tempat.

Namun, bagi anak-anak yang cepat mahir membaca atau punya ketertarikan ke dunia membaca, maka perihal yang menyenangkan selain bermain dengan teman sebaya adalah membaca komik. Apa pun jenis komiknya, yang paling penting adalah sesuai dengan ketertarikan anak tersebut.

Saat kesenangan itu terjadi dan melanda semua anak-anak, maka permasalahan di sekolah juga terjadi. Ada anak yang nilainya tidak kunjung bagus, karena jarang mengerjakan PR, alias bermain terus. Ada juga anak yang peringkatnya tidak bagus, karena terlalu sering membaca komik daripada membaca buku pelajaran.

Ilustrasi suasana pembelajaran. Gambar: Pexels/Max Fischer
Ilustrasi suasana pembelajaran. Gambar: Pexels/Max Fischer
Pada masa itulah guru harus berupaya keras menyadarkan anak-anak untuk tidak terlalu larut dalam permainan yang membuat mereka jarang fokus ketika di kelas.

Bagaimana dengan remaja, alias pelajar SMP? Aktivitas berbasis kegemaran pun berkembang dan malah banyak jenisnya.

Misalnya, kegemaran dalam mendengarkan radio. Pada saat itu, masih ada tren tentang radio yang memperdengarkan lagu-lagu cinta. Kemudian para remaja hanyut dalam lirik-liriknya, dan turut mempraktikkan cinta-cintaan yang biasanya disebut 'cinta monyet'.

Belum lagi dengan kegemaran menonton sinetron-sinetron bertema ABG yang mulai marak, dan membuat para remaja ingin menirunya di lingkungan sekolah. Salah satunya dengan membuat geng-gengan.

Hal semacam ini bisa memengaruhi konsentrasi pelajar yang kemudian juga membuat mereka malah cenderung suka membuat sensasi dan drama di lingkungan sekolah. Para guru jelas harus meredam situasi ini agar tidak menjadi lebih pelik.

Kemudian di masa peralihan 2000-an akhir ke 2010-an awal terdapat gelombang besar masuknya teknologi komunikasi dan informasi. Kemunculan gadget canggih membuat telepon rumah dan warung telepon perlahan tersisih--bahkan bisa disebut lenyap.

Penampakan komputer zadul dengan monitor tabung. Gambar: via Tek.id
Penampakan komputer zadul dengan monitor tabung. Gambar: via Tek.id
Begitu pula dengan komputer-komputer (dulu) berpentium yang membuat kegemaran anak-anak dan remaja yang awalnya asyik bermain di pekarangan beralih ke warung-warung internet (warnet). Ini jelas membuat kaum guru pusing untuk "menyeret" pikiran mereka ke tulisan-tulisan yang ada di papan tulis.

Sampai tiba pada perihal yang lebih menarik perhatian kaum pelajar, yaitu media sosial. Khusus bagi pelajar SMA, mereka seperti menemukan wahana yang sangat tepat untuk berekspresi.

Mereka yang sudah tidak mungkin bermain gundu, lompat tali, apalagi ular-tangga, maka menjadikan media sosial sebagai wahana bermain mereka. Waktu mereka kemudian terkuras di sana. Mereka menjadikan media sosial (medsos) sebagai bagian dari kegemaran, dan tentunya membuat fokus belajarnya semakin acak-acakan.

Ilustrasi kaum muda adiksi dengan medsos. Gambar: Pexels/Mikoto.raw
Ilustrasi kaum muda adiksi dengan medsos. Gambar: Pexels/Mikoto.raw
Kaum guru pun kembali harus bergerilya. Mereka juga membuat akun medsos untuk memantau aktivitas pelajarnya. Terkadang tidak jarang melalui medsos, guru "menjewer" muridnya.

Kalau sekarang ada yang pernah viral tentang dosen yang mencari mahasiswanya hingga di Youtube. Maka, sebelumnya hal semacam itu juga terjadi saat medsos belum sebanyak dan semenarik sekarang.

Apa yang dikhawatirkan guru saat itu?

Pergaulan. Pergaulan di media sosial cenderung lebih bebas. Pelajar di kota A bisa berkenalan dengan pelajar dari kota B, C, hingga Z. Bahkan, juga bisa antarprovinsi hingga antarnegara.

Jika jaringan sosial itu digunakan untuk hal positif, tentu tidak masalah. Tetapi, bagaimana jika malah negatif? Tentu, pihak yang pusing juga guru, selain orang tua mereka.

Memang, pada akhirnya puncak perkembangan objek yang menggoda para pelajar adalah kemunculan media-media obrolan. Itu terjadi pada 2010-an menuju pertengahan akhir.

Banyak pelajar yang sudah pasti punya akun di media obrolan. Mereka bahkan tidak jarang satu ruang obrolan dengan orang-orang yang lebih tua, dan itu menjadi permasalahan laten.

Ilustrasi bermedia sosial yang harus mempertimbangkan baik-buruknya sikap/tata krama. Gambar: Paul Hostetler via Experiencelife.com
Ilustrasi bermedia sosial yang harus mempertimbangkan baik-buruknya sikap/tata krama. Gambar: Paul Hostetler via Experiencelife.com
Permasalahan itu adalah sikap dan tata krama. Mentang-mentang tidak bertatap muka, maka tingkat keberanian untuk saling bertukar kata-kata menjadi tidak terkendali.

Permasalahan lainnya adalah percontohan, yaitu ketika orang yang lebih tua ternyata memberikan pengaruh yang tidak baik kepada kaum pelajar. Maka, bisa diprediksi bahwa ada potensi terjadi peniruan tingkah laku di dunia maya.

Ketika hal-hal semacam ini muncul, tentu para guru semakin pusing. Mereka yang sudah berupaya keras mengentaskan intelektualitas para pelajar, malah juga harus mengentaskan moralitas anak-anak didiknya.

Pendidikan sekarang juga menghadirkan tantangan bagi guru, karena dilakukan secara online. Gambar: Pexels/Julia M Cameron
Pendidikan sekarang juga menghadirkan tantangan bagi guru, karena dilakukan secara online. Gambar: Pexels/Julia M Cameron
Artinya, perkembangan zaman yang kemudian disimulasikan pada era yang pendek tersebut, telah menggambarkan bahwa kehidupan orang-orang tetap dipenuhi dengan pertempuran antara kegelapan dan pencerahan. Saat seperti itulah di tengahnya ada guru-guru yang berjuang dengan keras untuk menghalau kegelapan.

Apakah berhasil?

Itulah yang kemudian menjadi pertanyaan sepanjang zaman. Bahkan, kalau berdasarkan "spoiler" yang saya tahu, bahwa dunia ini akan kedatangan orang suci dari surga. Beliau saya anggap sebagai 'guru pamungkas'-nya zaman.

Itu artinya, kehidupan ini masih membutuhkan adanya guru untuk mengentaskan kehidupan yang dikabarkan kembali gelap. Saat itu terjadi, saya berharap bahwa pertanyaan tersebut terjawab olehnya. Semoga.

Selamat Hari Guru Nasional! Jasa-jasamu semoga memuliakanmu, Guru.

Gambar: Kemendikbud/Teguh Prasongko E.
Gambar: Kemendikbud/Teguh Prasongko E.
~ Malang, 25 November 2020

Deddy Husein S.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun