Salah satu alasan di balik sulitnya menjadi guru itu adalah faktor bekerja keras. Memang, semua profesi harus melakukan itu. Tetapi, tanggung jawabnya guru itu terletak pada intisari kehidupan.
Dari seluruh zaman, guru adalah pemikul inti dari keberadaan zaman. Ketika ada zaman kegelapan atau juga ada yang menyebutnya zaman jahiliyah, keberadaan orang-orang yang menjadi guru juga dipertanyakan. Mengapa mereka sampai membiarkan generasi zaman itu terkurung pada kegelapan?
Mungkin, saat itu belum banyak yang menjadi guru. Namun, asumsi saya ketika mengetahui eksistensi orang-orang yang disebut leluhur atau semasa hidupnya bisa disebut tetua/tokoh adat, maka merekalah yang berperan sebagai guru.
Guru pada zaman itu bisa dikatakan sebagai peran, bukan status seperti saat ini. Itu artinya, ketika ada generasi orang-orang yang kesulitan intelektual dan moralnya, maka yang dipertanyakan adalah bagaimana kiprah guru saat itu.
Ketika zaman mulai mengenal agama, tokoh agama adalah guru. Atau, yang paling terdahulunya, yaitu nabi. Maka, nabi adalah guru. Ketika zamannya para nabi lahir, maka saat itu ada dinamika kehidupan.
Ada kegelapan dan ada pencerahan. Sampai kemudian zamannya nabi sudah diwariskan kepada orang-orang biasa yang kemudian lebih mendalami ilmu agama. Itulah kemudian muncul tokoh agama.
Tokoh agama juga melakukan perannya sebagai guru. Mereka harus mencerahkan pikiran individu dan masyarakat.
Sampai tiba pada masanya guru menjadi status yang spesifik. Mengajari para anak dan orang-orang muda, yang kemudian praktiknya juga dikenal sebagai pendidikan.
Kehidupan kemudian dipenuhi perubahan. Dari yang lambat sampai yang cepat. Itu pula yang membuat zaman bisa diubah menjadi era. Terlihat lebih dekat, tanpa harus berpikir lebih jauh ketika harus melakukan perbandingan.
Tentu, ketika waktu terus berjalan, setiap orang akan berpikir tentang apa yang akan terjadi ke depan dan apa yang telah terjadi kemarin. Berarti, ada upaya untuk mengukur seberapa besar perubahan yang terjadi pada masa lalu dengan masa depan. Atau, minimal dengan masa sekarang.
Saat melakukan pengukuran dan perbandingan itu kemudian kita menemukan apa saja yang berbeda. Tentu, kita tetap fokus pada pendidikan dan guru.
Saya mengilustrasikannya dengan masa pendidikan 2000-an dengan masa 2010-an awal. Saat itu, saya masih berstatus sebagai pelajar.
Ketika SD, saya mengalami perihal yang sedang menarik dan populer pada anak-anak. Saat itu, hal paling menarik adalah bermain dan membaca komik.
Bermain di sini objeknya seperti ular-tangga, lompat tali, gundu, kartu kwartet, dan lain-lain. Pokoknya permainan yang ada saat itu harus beramai-ramai dan secara langsung berkumpul di satu tempat.
Namun, bagi anak-anak yang cepat mahir membaca atau punya ketertarikan ke dunia membaca, maka perihal yang menyenangkan selain bermain dengan teman sebaya adalah membaca komik. Apa pun jenis komiknya, yang paling penting adalah sesuai dengan ketertarikan anak tersebut.
Saat kesenangan itu terjadi dan melanda semua anak-anak, maka permasalahan di sekolah juga terjadi. Ada anak yang nilainya tidak kunjung bagus, karena jarang mengerjakan PR, alias bermain terus. Ada juga anak yang peringkatnya tidak bagus, karena terlalu sering membaca komik daripada membaca buku pelajaran.
Bagaimana dengan remaja, alias pelajar SMP? Aktivitas berbasis kegemaran pun berkembang dan malah banyak jenisnya.
Misalnya, kegemaran dalam mendengarkan radio. Pada saat itu, masih ada tren tentang radio yang memperdengarkan lagu-lagu cinta. Kemudian para remaja hanyut dalam lirik-liriknya, dan turut mempraktikkan cinta-cintaan yang biasanya disebut 'cinta monyet'.
Belum lagi dengan kegemaran menonton sinetron-sinetron bertema ABG yang mulai marak, dan membuat para remaja ingin menirunya di lingkungan sekolah. Salah satunya dengan membuat geng-gengan.
Hal semacam ini bisa memengaruhi konsentrasi pelajar yang kemudian juga membuat mereka malah cenderung suka membuat sensasi dan drama di lingkungan sekolah. Para guru jelas harus meredam situasi ini agar tidak menjadi lebih pelik.
Kemudian di masa peralihan 2000-an akhir ke 2010-an awal terdapat gelombang besar masuknya teknologi komunikasi dan informasi. Kemunculan gadget canggih membuat telepon rumah dan warung telepon perlahan tersisih--bahkan bisa disebut lenyap.
Sampai tiba pada perihal yang lebih menarik perhatian kaum pelajar, yaitu media sosial. Khusus bagi pelajar SMA, mereka seperti menemukan wahana yang sangat tepat untuk berekspresi.
Mereka yang sudah tidak mungkin bermain gundu, lompat tali, apalagi ular-tangga, maka menjadikan media sosial sebagai wahana bermain mereka. Waktu mereka kemudian terkuras di sana. Mereka menjadikan media sosial (medsos) sebagai bagian dari kegemaran, dan tentunya membuat fokus belajarnya semakin acak-acakan.
Kalau sekarang ada yang pernah viral tentang dosen yang mencari mahasiswanya hingga di Youtube. Maka, sebelumnya hal semacam itu juga terjadi saat medsos belum sebanyak dan semenarik sekarang.
Apa yang dikhawatirkan guru saat itu?
Pergaulan. Pergaulan di media sosial cenderung lebih bebas. Pelajar di kota A bisa berkenalan dengan pelajar dari kota B, C, hingga Z. Bahkan, juga bisa antarprovinsi hingga antarnegara.
Jika jaringan sosial itu digunakan untuk hal positif, tentu tidak masalah. Tetapi, bagaimana jika malah negatif? Tentu, pihak yang pusing juga guru, selain orang tua mereka.
Memang, pada akhirnya puncak perkembangan objek yang menggoda para pelajar adalah kemunculan media-media obrolan. Itu terjadi pada 2010-an menuju pertengahan akhir.
Banyak pelajar yang sudah pasti punya akun di media obrolan. Mereka bahkan tidak jarang satu ruang obrolan dengan orang-orang yang lebih tua, dan itu menjadi permasalahan laten.
Permasalahan lainnya adalah percontohan, yaitu ketika orang yang lebih tua ternyata memberikan pengaruh yang tidak baik kepada kaum pelajar. Maka, bisa diprediksi bahwa ada potensi terjadi peniruan tingkah laku di dunia maya.
Ketika hal-hal semacam ini muncul, tentu para guru semakin pusing. Mereka yang sudah berupaya keras mengentaskan intelektualitas para pelajar, malah juga harus mengentaskan moralitas anak-anak didiknya.
Apakah berhasil?
Itulah yang kemudian menjadi pertanyaan sepanjang zaman. Bahkan, kalau berdasarkan "spoiler" yang saya tahu, bahwa dunia ini akan kedatangan orang suci dari surga. Beliau saya anggap sebagai 'guru pamungkas'-nya zaman.
Itu artinya, kehidupan ini masih membutuhkan adanya guru untuk mengentaskan kehidupan yang dikabarkan kembali gelap. Saat itu terjadi, saya berharap bahwa pertanyaan tersebut terjawab olehnya. Semoga.
Selamat Hari Guru Nasional! Jasa-jasamu semoga memuliakanmu, Guru.
Deddy Husein S.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H