Kemudian di masa peralihan 2000-an akhir ke 2010-an awal terdapat gelombang besar masuknya teknologi komunikasi dan informasi. Kemunculan gadget canggih membuat telepon rumah dan warung telepon perlahan tersisih--bahkan bisa disebut lenyap.
Sampai tiba pada perihal yang lebih menarik perhatian kaum pelajar, yaitu media sosial. Khusus bagi pelajar SMA, mereka seperti menemukan wahana yang sangat tepat untuk berekspresi.
Mereka yang sudah tidak mungkin bermain gundu, lompat tali, apalagi ular-tangga, maka menjadikan media sosial sebagai wahana bermain mereka. Waktu mereka kemudian terkuras di sana. Mereka menjadikan media sosial (medsos) sebagai bagian dari kegemaran, dan tentunya membuat fokus belajarnya semakin acak-acakan.
Kalau sekarang ada yang pernah viral tentang dosen yang mencari mahasiswanya hingga di Youtube. Maka, sebelumnya hal semacam itu juga terjadi saat medsos belum sebanyak dan semenarik sekarang.
Apa yang dikhawatirkan guru saat itu?
Pergaulan. Pergaulan di media sosial cenderung lebih bebas. Pelajar di kota A bisa berkenalan dengan pelajar dari kota B, C, hingga Z. Bahkan, juga bisa antarprovinsi hingga antarnegara.
Jika jaringan sosial itu digunakan untuk hal positif, tentu tidak masalah. Tetapi, bagaimana jika malah negatif? Tentu, pihak yang pusing juga guru, selain orang tua mereka.
Memang, pada akhirnya puncak perkembangan objek yang menggoda para pelajar adalah kemunculan media-media obrolan. Itu terjadi pada 2010-an menuju pertengahan akhir.
Banyak pelajar yang sudah pasti punya akun di media obrolan. Mereka bahkan tidak jarang satu ruang obrolan dengan orang-orang yang lebih tua, dan itu menjadi permasalahan laten.