Menulis tentang sosok inspiratif, antara susah dan gampang. Susah, karena harus mengenal orang tersebut dengan lebih jeli. Gampang, jika kita sering mencari tahu atau mengikuti segala sepak terjang orang tersebut.
Sebagian besar penulis biografi, mereka adalah orang-orang yang berupaya dekat dengan calon subjek yang ditulis. Jika tidak sedekat itu, maka yang harus dilakukan penulis biografi adalah mencari segala referensi tentang sosok yang akan ditulis.
Selain itu, tulisan yang akan muncul juga tidak lepas dari subjektivitas si penulis. Jika si penulis menganggap subjek tulisannya sangat baik terhadapnya atau memberikan kebaikan secara jangka panjang, maka si penulis akan mengungkapkannya lewat tulisan.
Mungkin, pembaca tidak bisa mengidentifikasinya secara akurat. Tetapi, di antara pendapat- pendapat orang yang diungkap untuk menggambarkan sosok tersebut, si penulis pasti menyisipkan apa yang ia rasakan juga.
Hal itu akan semakin menguat jika misalnya tulisan biografi itu semi-fiksi. Biasanya yang semi-fiksi akan ada pengembangan interpretasi dari penulis terkait fakta yang dia temukan.
Namun, menulis tentang biografi, sebaiknya tetap berada di koridor nonfiksi. Artinya, apa yang ditulis adalah fakta. Jikalau ada yang harus ditutupi, itu bukan berarti menghilangkan kenyataannya.
Konsep yang sedemikian rupa penulis pahami untuk mencoba menulis tentang sosok inspiratif, bernama Anis Hidayatie. Mungkin bagi beberapa pembaca, nama ini terlihat asing.
Tetapi, nama ini bisa dikatakan sangat perlu untuk diketahui, karena kapabilitasnya tidak perlu diragukan. Khususnya dalam hal literasi.
Dewasa ini, kita bisa mendengar dan membaca tentang gawat daruratnya tingkat literasi masyarakat Indonesia. Namun, kegawatan itu tidak sepenuhnya dihadapi dan diselesaikan oleh orang-orang yang memprihatinkan situasi tersebut.
Terkadang statistik di PISA terkait literasi negara di dunia hanya menjadi hiasan di dalam artikel, jurnal, dan buku. Orang-orang yang menyematkannya belum tentu melakukan aksi nyata tentang cara memperbaiki statistik tersebut.
Hal ini yang berbeda dengan apa yang dilakukan oleh Anis Hidayatie. Sepertinya dia belum pernah menyinggung tentang permasalahan literasi di Indonesia secara tertulis. Namun, dalam tindakan dan pembicaraannya, dia sangat fokus dalam upaya membangunkan semangat literasi masyarakat.
Masyarakat yang dimaksud ini bukan langsung kumpulan besar, tetapi dari kumpulan- kumpulan kecil. Seperti dari rekan sesama guru, dari sesama perempuan, baru kemudian bisa menjalar ke mahasiswa, pelajar, hingga masyarakat desa.
Kemudian, dia menjangkau kaum ibu-ibu rumah tangga, itu karena dia juga awalnya merasakan bagaimana dirinya sangat sibuk merawat rumah tangga ketika anak-anaknya masih kecil dan ada suami. Atas dasar itu, ia ingin membuat perubahan kebiasaan pada kaum ibu-ibu rumah tangga agar tidak hanya bergantung pada karier suami, melainkan juga punya kebiasaan atau hobi yang menarik dan tetap bermanfaat secara luas--implisit dan eksplisit.
Ketika Anis mulai menjangkau dan merangkul kaum mahasiswa, itu karena dulu dia pernah menjadi pimpinan redaksi majalah di UIN Malang. Artinya, dia melakukan pergerakan literasi tidak sekonyong-konyong saat dia mulai harus hidup mandiri pasca meninggalnya sang suami tercinta.
Dia membangun dan mengembangkan semangat literasi itu dari kala masih menjadi mahasiswa. Ada modal yang hebat dari dulu, alias tidak instan atau berdasarkan tren masa kini belaka.
Itulah yang membuat apa yang dia lakukan tidak mengandung keterpaksaan dan pemaksaan. Dia tidak terpaksa, juga tidak memaksakan diri atau orang lain untuk mengikuti jejaknya dalam upaya memperbaiki tingkat literasi.
Semua pergerakan dan perbaikan adalah berangkat dari kemauan diri sendiri. Jika tidak, maka pergerakan dan perbaikan itu akan menjadi gebrakan belaka.
Seperti kembang api yang dinyalakan saat tengah malam dan dapat mengejutkan orang yang sudah tidur. Tapi, setelah itu orang yang sudah terbangun itu akan kembali tidur dan melupakan keterkejutan atau keterpesonaannya dengan kembang api tadi.
Itulah yang tidak akan terjadi pada Anis Hidayatie. Dia memulai segala usahanya membangkitkan literasi dari orang-orang terdekatnya. Begitu pula dalam upaya mempertahankan semangat literasi pada masyarakat sekitarnya, dia tidak lupa untuk menjangkau kaum anak-anak.
Anis Hidayatie memang belum menjadi sosok terkenal secara nasional seperti penulis dan penggiat literasi lain. Namun, aktivitasnya dalam dunia literasi di masyarakat Malang dan Pasuruan, Jawa Timur, akan membekas bagi mereka yang akhirnya tergugah untuk mengenal lebih dekat dengan literasi.
Seperti yang Anis lakukan saat ini dengan aktivitas mengeksplorasi potensi wisata di Pasuruan dan Pujon Kabupaten Malang. Aktivitasnya itu kemudian diabadikan dengan vlog di channel Youtube-nya.
Setelah ia unggah videonya, ia juga mengabadikan keberadaan tempat wisata itu ke dalam tulisan di sebuah platform menulis digital, Kompasiana. Artinya, literasi tidak lagi terpaku pada bentuk tulisan, tapi juga bisa dengan penunjangan audio-visual.
Literasi juga tidak lagi hanya mengeruk sumber daya dalam diri individu--eksplorasi individu, tetapi juga bisa menangkap fenomena-fenomena dari luar--eksplorasi sosial/eksternal.
Itulah mengapa, keberadaan Anis Hidayatie ini perlu mulai dikenal oleh banyak orang. Tidak perlu menunggu Anis Hidayatie diundang stasiun tv nasional untuk disebut inspirasional.
Cukup dengan menonton videonya di Youtube, juga dengan membaca buku atau tulisan- tulisannya di aneka platform menulis online.
Kebetulan zaman sudah tidak lagi memaku kita untuk membaca segala tulisan lewat buku atau koran. Zamannya sudah serba online, termasuk dalam hal menulis-membaca. Itu pula yang dieksplorasi oleh Anis.
Bahkan, dia banyak dikenal oleh remaja dan kaum muda-mudi ketika eksis di platform menulis online. Seperti Plukme, Kaskus, dan kini juga eksis di Kompasiana. Artinya, dalam membangun dan memperbaiki tingkat literasi masyarakat harus dimulai dari diri sendiri.
Itulah yang sebenarnya tertangkap dari sepak terjang Anis Hidayatie. Dia seperti mutiara yang pernah dipuja lalu kembali bangkit setelah terbenam di dasar samudera yang dalam.
Namun, kebangkitannya itu justru semakin bersinar walau sudah 'berkepala lima'. Itu juga yang membuat para muda-mudi cukup tertohok ketika melihat diri sendiri masih belum bersemangat di literasi alias pencerdasan.
Lalu, apakah kita bisa menjadi Anis Hidayatie? Sangat bisa. Justru, meniru sosok yang masih cenderung underground seperti Anis Hidayatie akan memudahkan kita dalam membangun dan mengelola semangat.
Berbeda ceritanya jika kita sudah telanjur menemukan sosok inspiratif yang sudah sangat besar. Maka, kita akan sulit untuk menemukan titik-titik terendahnya orang tersebut.
Itu artinya, kita seperti sedang berupaya menjadi dewa. Padahal, untuk menjadi Capung, burung, hingga Elang saja kita belum bisa. Lalu, bagaimana agar bisa abadi di atas sana?
Itulah alasan di balik upaya menulis tentang Anis Hidayatie sebagai sosok inspiratif. Menurut penulis, lebih baik mengungkapkan sosok yang masih bisa dijangkau daripada sosok yang sudah mengawang-awang.
~ Malang, 17 November 2020
Deddy Husein S.
Sisipan:
Zenius.net, Kominfo.go.id, Databoks.katadata.co.id, Kompas.com.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H