Kedua, kesabaran. Dibandingkan Rins, Mir cenderung lebih sabar. Padahal jika dilihat secara performa, sebenarnya Rins lebih cepat daripada Mir. Tetapi, Rins kurang sabar. Itu terlihat dari bagaimana ia menjalani seri Red Bull Ring dan Le Mans.
Pada dua seri itu, Rins mampu berada di posisi yang lebih baik dari Mir. Tetapi, di saat yang sama dia malah jatuh ketika mendapatkan kesempatan untuk memimpin balapan atau sedang di kecepatan terbaiknya.
Hal ini yang membuat Rins kehilangan banyak peluang, sedangkan Mir berupaya mengeruk peluang-peluang terbaiknya. Caranya adalah dengan kesabaran, alias tahu momentum.
Kapan harus menyalip dan kapan harus mengikuti pembalap lain. Hal ini yang ditunjukkan oleh Mir dan menjadi modalnya untuk dapat meraih banyak poin sampai akhirnya mampu mengudeta puncak klasemen dari Fabio Quartararo.
Contoh paling membekas adalah ketika dia mampu melewati Valentino Rossi di situasi terakhir untuk merebut podium ketiga di San Marino (13/9). Itu membuat penggemar Rossi gagal melihat Rossi kembali menjejakkan kaki di podium pasca seri Andalusia (26/7).
Padahal, jika Rossi meraih podium itu, maka akan ada trio Italia yang finis podium di San Misano, yaitu Franco Morbidelli (1), Francesco Bagnaia (2), dan seharusnya Rossi. Namun, karena aksi penyalipan yang dilakukan Mir, membuat Rossi harus puas finis ke-4.
Uniknya, sejak itu Rossi gagal meraih poin di 6 seri selanjutnya, sampai MotoGP Europa (8/11). Berbeda dengan Mir yang malah semakin konsisten meraih poin dan di seri Europa, Mir sukses meraih juara seri pertamanya.
Pasca kemenangan perdana itu, Mir semakin kokoh di puncak klasemen. Kemenangan itu juga membuat Suzuki untuk pertama kalinya finis 1-2 di era modern. Juga membuat Suzuki merangkai 4 kali podium ganda.
Sebenarnya, semua pembalap pasti akan lebih keren jika mampu menyalip pembalap lain di tikungan, namun tidak semua pembalap mampu melakukannya di momen yang tepat. Itulah yang ditunjukkan oleh Mir.