Melihat situasi pembalapnya yang sangat kesulitan itu, tentu Yamaha punya dorongan untuk membuat perlawanan. Namun, kenyataannya mereka memilih untuk menerima sanksi tersebut.
Meskipun ada yang berpikir bahwa Yamaha masih tetap beruntung, karena dengan sanksi itu takakan membuat mereka sepenuhnya tersingkir dari persaingan gelar konstruktor. Namun, jika melihat performa tim lain, khususnya Suzuki, maka keberuntungan Yamaha bisa disebut sia-sia.
Pada tabel konstruktor, Yamaha terpaut 25 poin dari Suzuki. Mereka harus berupaya memenangkan 2 seri terakhir dan berharap duo Suzuki jatuh, yang artinya itu cukup mustahil.
Begitu pula di klasemen tim. Malah lebih parah. Tim Petronas yang lebih baik dari Yamaha Monster terpaut 82 poin dari Suzuki Ecstar.
Artinya, Suzuki Ecstar sudah sulit terkejar di dua seri sisa. Jika dua pembalapnya finis 1-2 lagi, otomatis poinnya menjadi 332. Sedangkan Petronas Yamaha hanya maksimal 295 poin, dengan harus meraih podium 1-2 atau 45 poin di dua seri.
Itulah mengapa, saya pikir Yamaha sudah luar biasa dalam menyikapi hukuman yang mereka dapatkan. Padahal, mereka awalnya sangat superior dengan menempatkan dua timnya cukup bertaji, khususnya tim satelitnya yang musim ini menjadi tulang punggung Yamaha.
Ini akan menjadi kali kesekian bagi Yamaha untuk melihat tim lawan berpesta. Sangat disayangkan, jebloknya sang seteru abadi, Honda justru gagal mereka manfaatkan untuk berjaya.
Justru, Suzuki yang berhasil menikung peluang Yamaha untuk kembali berjaya setelah musim 2015. Kini, kita hanya bisa berharap Yamaha tidak lagi ceroboh di musim depan.
Yamaha di pekan ini harus mengucapkan, "Adios, MotoGP 2020!". Sebuah ucapan yang berat untuk keluar dari tim petarung dengan rekam jejak mentereng seperti Yamaha.