Bagi penggemar ajang balap motor bergengsi bernama MotoGP, pasti sudah tahu permasalahan yang sedang dihadapi oleh tim asal Jepang itu. Sebelum seri Eropa digelar (8/11), Yamaha resmi dijatuhi hukuman berupa pengurangan poin.
Ada 50 poin yang ditarik dari Yamaha sebagai konstruktor. Juga 37 poin dari Petronas SRT dan 20 poin dari Monster Energy Yamaha.
Pengurangan itu tidak berlaku kepada pembalap, karena idealnya pembalap tidak tahu-menahu tentang apa yang ada di manajemen motornya. Pembalap hanya tahu bagaimana agar bisa memacu motornya dengan kencang dan menang.
Itu yang membuat keluhan atau cibiran dari pembalap-pembalap tim lawan terlihat seperti tindakan konyol. Karena, jika itu terjadi kepada mereka, pasti mereka juga tidak akan terima seandainya dihukum.
Pembalap itu seperti anak panah. Mereka hanya bergantung pada bagaimana si pemanah dapat merentangkan tali busurnya juga menyiapkan panahnya.
Jika pemanahnya tahu teknik memanah dengan baik, si anak panah akan dapat meluncur dengan deras dan tepat sasaran. Begitu juga sebaliknya.
Pembedanya, pembalap adalah manusia yang memiliki kemampuan berpikir, sedangkan anak panah tidak. Itulah mengapa, pembalap bisa memberikan masukan (keluhan) kepada tim, dan tim akan berupaya menemukan solusinya.
Saat seperti itu, belum tentu ada transparansi antara tim dengan pembalap. Bisa saja hal itu disengaja, agar pembalap lebih fokus pada teknis di sirkuit bukan di paddock.
Atas dasar itu, saya sepakat bahwa pembalap tidak mendapatkan pengurangan poin. Karena, kita juga perlu menghargai usaha berdarah-darah mereka di atas lintasan.
Kecuali, jika itu tentang doping, maka ceritanya cukup berbeda. Karena, doping adalah sesuatu yang masuk ke dalam tubuh pembalap.
Artinya, ada peluang lebih besar bahwa pembalap tahu apa yang sedang ia gunakan untuk tubuhnya. Jika kemudian ia mengaku tidak tahu-menahu, atau tidak sengaja mengonsumsinya, maka itu juga kesalahannya.
Mengapa ia tidak melibatkan orang-orang yang kompeten di bidang kesehatan untuk membantunya?
Dari sini, kita bisa sedikit tahu perbedaan antara mana yang bisa masuk ke ranah pembalap langsung (internal), dan mana yang belum sampai ke ranah pembalap (eksternal).
Tetapi, bukan hanya soal itu yang ingin saya sampaikan dalam tulisan ini, melainkan tentang respon dari Yamaha terkait hukuman tersebut.
Menurut saya, Yamaha sudah melakukan tindakan benar, yaitu menerima hukuman tersebut tanpa berupaya mengajukan banding.
Terkadang ada pihak-pihak yang tidak dapat menerima hukuman dan berupaya mengajukan banding. Tujuannya adalah mencari keringanan terkait konsekuensi buruk atas kesalahannya.
Namun, hal ini tidak dilakukan Yamaha. Padahal, mereka seharusnya memiliki motivasi untuk melakukannya.
Motivasinya tidak lain adalah terkait posisi di klasemen konstruktor dan tim balap. Pasca pengurangan poin itu, mereka langsung tergeser dari puncak klasemen.
Bahkan, yang cukup fatal adalah seri MotoGP 2020 tinggal 2 seri saja. Artinya, hanya ada 50 poin yang dapat diperebutkan.
Hal itu diperparah dengan situasi terakhir di seri sebelumnya yang memperlihatkan betapa bobroknya Yamaha saat melaju di seri Eropa. Posisi terbaik hanya dicapai oleh Franco Morbidelli.
Di mana Valentino Rossi?
Melihat situasi pembalapnya yang sangat kesulitan itu, tentu Yamaha punya dorongan untuk membuat perlawanan. Namun, kenyataannya mereka memilih untuk menerima sanksi tersebut.
Meskipun ada yang berpikir bahwa Yamaha masih tetap beruntung, karena dengan sanksi itu takakan membuat mereka sepenuhnya tersingkir dari persaingan gelar konstruktor. Namun, jika melihat performa tim lain, khususnya Suzuki, maka keberuntungan Yamaha bisa disebut sia-sia.
Pada tabel konstruktor, Yamaha terpaut 25 poin dari Suzuki. Mereka harus berupaya memenangkan 2 seri terakhir dan berharap duo Suzuki jatuh, yang artinya itu cukup mustahil.
Begitu pula di klasemen tim. Malah lebih parah. Tim Petronas yang lebih baik dari Yamaha Monster terpaut 82 poin dari Suzuki Ecstar.
Artinya, Suzuki Ecstar sudah sulit terkejar di dua seri sisa. Jika dua pembalapnya finis 1-2 lagi, otomatis poinnya menjadi 332. Sedangkan Petronas Yamaha hanya maksimal 295 poin, dengan harus meraih podium 1-2 atau 45 poin di dua seri.
Itulah mengapa, saya pikir Yamaha sudah luar biasa dalam menyikapi hukuman yang mereka dapatkan. Padahal, mereka awalnya sangat superior dengan menempatkan dua timnya cukup bertaji, khususnya tim satelitnya yang musim ini menjadi tulang punggung Yamaha.
Ini akan menjadi kali kesekian bagi Yamaha untuk melihat tim lawan berpesta. Sangat disayangkan, jebloknya sang seteru abadi, Honda justru gagal mereka manfaatkan untuk berjaya.
Justru, Suzuki yang berhasil menikung peluang Yamaha untuk kembali berjaya setelah musim 2015. Kini, kita hanya bisa berharap Yamaha tidak lagi ceroboh di musim depan.
Yamaha di pekan ini harus mengucapkan, "Adios, MotoGP 2020!". Sebuah ucapan yang berat untuk keluar dari tim petarung dengan rekam jejak mentereng seperti Yamaha.
Namun, apa yang mereka lakukan saat ini tetap perlu dihargai. Setidaknya, kita bisa melihat orang salah dan kalah memilih legawa. Kapan lagi?
~ Malang, 11-12 November 2020
Deddy Husein S.
Terkait:
Kompas.com 1, CNNIndonesia.com, Kompas.com 2, Wikipedia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H