Tetapi, permasalahannya si anak belum tentu tahu (persis) bagaimana cara mewujudkannya. Itulah halangan bagi si anak yang kemudian sudah berubah menjadi pemuda. Dia tidak lagi bisa hanya berandai-andai, tetapi harus bisa merealisasikannya.
Jika tetap tidak bisa setelah berusaha, buang jauh saja mimpi itu. Alihkan fokus pada hal yang lebih realistis.
Itulah yang membuat saya tidak baper dengan pernyataan Bu Mega. Karena, saya pikir sebagai pemuda yang semakin realistis dan sedikit oportunis, saya juga sedang tidak memikirkan apa yang dapat saya lakukan demi negara ini.
Justru, saya senang dengan kesangsian itu. Karena saya pikir, pemuda itu tugasnya bukan untuk menjawab harapan yang artinya harus memikul beban yang di luar kemampuannya.
Pemuda itu akan cukup berperan ketika dapat melakukan apa yang pemuda bisa lakukan dan tidak bisa dilakukan lagi oleh golongan tua. Menurut saya, itu sudah cukup, dan belum begitu perlu memikul yang lebih berat. Kecuali, jika memang si pemuda sudah terbiasa dengan beban berat melalui harapan-harapan besarnya.
Harapan itu pemberat, seperti jangkar. Ketika kapal ingin berhenti, dia butuh pemberat yang dapat menghentikan lajunya di atas permukaan laut.
Selain itu, pemuda juga seperti kapal yang beraneka jenis dan fungsinya. Ada tipe-tipe kapal yang memang mampu memuat banyak penumpang dan barang. Ada juga yang hanya untuk sedikit penumpang atau dengan spesifikasi muatan barang tertentu.
Artinya, ketika seseorang ingin menilai peran pemuda seperti apa untuk negaranya, maka lihatlah tipe pemudanya terlebih dahulu. Coba saja lihat sosok yang semisalnya seperti Putri Tanjung.