Mohon tunggu...
Deddy Husein Suryanto
Deddy Husein Suryanto Mohon Tunggu... Penulis - Content Writer

Penyuka Sepak Bola. Segala tulisan selalu tak luput dari kesalahan. Jika mencari tempe, silakan kunjungi: https://deddyhuseins15.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Bola Artikel Utama

Akhirnya, Bartomeu Tidak "Kepala Batu"

28 Oktober 2020   15:58 Diperbarui: 28 Oktober 2020   20:25 571
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bartomeu resmi mundur (28/10). Gambar: Goal.com

Awalnya, saya fokus mencari info terbaru tentang Liga Champions. Namun, ketika sedang mengulik statistik pertandingan, saya menemukan sebuah judul berita yang mencengangkan.

"Resmi, Bartomeu Mengundurkan Diri sebagai Presiden Barcelona". Kurang-lebih begitu tajuknya. Saya tentu tidak menyia-nyiakan kesempatan untuk membaca beritanya.

Ternyata, keputusannya diambil tidak lepas dari keberadaan petisi pengunduran diri Bartomeu yang diajukan oleh sekitar 16.000 anggota klub. Pembahasan ini seingat saya juga pernah ditulis oleh seorang/dua orang penulis konten di Kompasiana.

Baca salah satunya: Bartomeu Lengser? (David Abdullah)

Berangkat dari "permintaan" itu, akhirnya Bartomeu luluh. Saya pun senang.

Bukan karena saya mengharapkan dia mundur dan membencinya, tetapi karena dia memang perlu untuk mendengarkan pertimbangan dari orang lain demi kebaikan banyak pihak. Meskipun ada pepatah, bahwa kita tidak mungkin membuat semua orang senang, tetapi membuat semua orang susah itu juga bukan hal yang bijak kalau terus dilanjutkan.

Jika faktor tolak-ukurnya adalah prestasi, sebenarnya di masa kepemimpinan Josep Maria Bartomeu, Barcelona tidak buruk-buruk sekali. Tetapi, secara perlahan kepercayaan diri Barcelona terhadap identitasnya menjadi menurun.

Ini terbukti dari kecenderungan Barcelona yang meniru Real Madrid untuk gemar membeli pemain dengan harga mahal. Sekali-dua kali rasanya tidak masalah, tetapi kalau terus- menerus, itu yang menjadi persoalan.

Semakin berbahaya, jika apa yang dilakukan Barcelona berdampak pada hilangnya kebiasaan Barcelona sebelumnya, yaitu mengorbitkan pemain lulusan akademi La Masia. Meskipun, tidak sedikit pemain dimentaskan ke tim senior--seperti Adama Traore, tetapi sulit bagi mereka untuk bertahan apalagi konsisten seperti era Puyol, Xavi, Iniesta, hingga Messi.

Nama terakhir bahkan menjadi tumpuan Barcelona selepas pensiunnya Xavi dan perginya Iniesta. Ia pun berusaha dicengkeram kuat oleh Barcelona agar tidak hengkang dari Camp Nou. Namun, waktu tidak bisa berhenti, semua ada masanya untuk datang dan pergi.

Baca juga: Barcelona Tiru Real Madrid

Itulah yang membuat Barcelona disayangkan tidak mempertahankan kebiasaan mereka sebelumnya yang mampu menancapkan pemain alumni La Masia untuk menyambung tali filosofi Tiki-Taka yang dibanggakan. Ketika hal itu urung terjadi, maka apa yang kita lihat seperti pada Barcelona saat ini.

Pada satu sisi, perubahan pada permainan Barcelona memang bagus. Karena, ada penyegaran. Pemain menjadi tidak bosan dengan pakem yang sama di nyaris semua pertandingan seperti di akhir kepelatihan Guardiola.

Lagipula, gaya bermain Tiki-Taka juga tidak sepenuhnya menjamin kemenangan. Hal ini tidak lepas dari gaya permainan populer saat ini yang cenderung oportunis dan cukup simpel seperti yang diperagakan Jurgen Klopp bersama Liverpool.

Namun, di sisi lain, kehilangan 'roh' Tiki-Taka pada Barcelona juga membuat permainan Barcelona menjadi labil. Kadang sangat bagus, kadang sangat jelek.

Bahayanya, ketika sangat jelek, mereka sulit untuk membuat perubahan gaya main khususnya dalam waktu singkat di pertandingan saat itu juga. Begitu pula pada pelatihnya, mereka menjadi terlihat tidak ingin mengubah 'image' Barcelona sebagai penguasa bola menjadi pereaksi permainan.

Bisa saja bagi pelatihnya, ini adalah kesempatan baru untuk memiliki tim yang mampu menguasai permainan. Namun yang menjadi persoalan, permainan seperti itu adalah zona nyaman bagi beberapa pemain lama Barcelona.

Sayangnya lagi, praktik itu dijalankan bersama pemain-pemain baru yang terkadang tidak terlalu mengenal taktik "ala Barcelona". Sebut saja, Antoine Griezmann. Apakah ia berani menjamin bahwa dirinya telah mengenal bagaimana gaya main Barcelona yang "khas"?

Itulah mengapa, keberadaan pemain asli akademi diperlukan. Meskipun tidak perlu banyak, tetapi minimal di per dua musim sekali ada pemain yang diorbitkan dan tidak untuk one season wonder.

Mereka harus diproyeksikan sebagai penghuni tetap di skuad utama dan tidak pernah diragukan meski terkadang bisa naik-turun performanya. Jika ini dilakukan, maka praktik pembelian pemain mahal sebenarnya tidak masalah.

Mereka hadir bukan untuk menyabotase tempat impian para pemain didikan Barcelona, tetapi untuk menyempurnakan skuad Barcelona. Ini seperti kehadiran Samuel Eto'o, Ronaldinho, Thierry Henry, juga Neymar.

Namun, kenyataannya tidak seperti itu. Khususnya sejak Bartomeu menjadi Presiden Barcelona, klub Catalan ini menjadi gemar berbelanja pemain. Harganya pun tidak main- main.

Bahkan, ada yang tergolong kemahalan, salah satunya seperti Ousmane Dembele. Menurut saya, ini menjadi salah satu faktor mengapa harga Philippe Coutinho dan Antoine Griezmann juga sangat tidak murah.

Dembele sudah main di awal musim 2020/21. Gambar: Goal.com
Dembele sudah main di awal musim 2020/21. Gambar: Goal.com
Walaupun Dembele pemain muda dan berprospek jangka panjang, tetapi keputusan membeli dengan harga tinggi atau juga menebus klausulnya itu akan mempengaruhi nilai pemain- pemain lain. Dari situlah kemudian seperti yang terjadi saat ini.

Banyak pemain yang bergaji mahal, karena mereka adalah pendatang. Ini juga memicu pemain asli akademi menjadi secara laten merajuk kepada klub agar dihargai dengan simbol kenaikan gaji yang setara atau tidak berbeda jauh.

Sebenarnya, Barcelona bisa saja tidak akan terkena permasalahan finansial jika tidak ada permasalahan nonteknis dalam sepak bola, seperti pandemi covid-19. Itu bisa dibuktikan dengan keberadaan Barcelona sebagai klub yang tidak pernah absen dari tabel klub terkaya setiap tahun.

Namun, akibat pandemi, finansial klub terjun bebas. Ini tentu membuat situasi klub menjadi tidak tenang, khususnya pemain. 

Seprofesionalnya pemain, kalau dia merasa tidak mendapatkan timbal-balik setara, pasti upaya untuk berjuang habis-habisan akan mengendur.

Bahkan, tidak menutup kemungkinan, loyalitas juga harus terhapuskan. Seperti yang dialami beberapa pemain Valencia yang hengkang, karena klub tersebut sedang bermasalah finansialnya.

Berdasarkan faktor semacam itu ditambah sisi teknis di lapangan yang juga tidak kondusif, Barcelona pun seperti ikan yang nekat loncat dari baskom. Ini terlihat dari bagaimana mereka mengarungi akhir musim 2019/20 dan awal musim 2020/21.

Khusus musim 2020/21, Barcelona mengawalinya dengan drama yang tidak berkesudahan. Salah satunya adalah saga transfer Messi. Walaupun kemudian keduanya rujuk, tetap saja itu tidak akan menyelesaikan keadaan.

Perasaan nyaman dan cinta antara keduanya menjadi setengah-setengah. Khususnya dari Lionel Messi.

Baca juga: Serba Salah Messi

Sebagai pemain yang cocok-cocokkan, dia terlihat masih gagal move on dari perpisahannya dengan Luis Suarez. Suarez yang dianggap tidak lagi cocok pada skema permainan Ronald Koeman--pelatih baru, harus didorong ke luar.

Memang, pada awalnya Messi seperti berusaha menerima pemain-pemain lainnya, seperti Coutinho dan Griezmann yang keduanya mulai semakin reguler di formasi babak pertama. Begitu juga dengan kehadiran pemain muda, Ansu Fati.

Sekilas, Messi terlihat nyaman bermain dengan mereka, karena mereka lebih segar dan haus akan pembuktian bahwa mereka pantas berseragam Barcelona. Namun, kenyamanan itu mulai tergerus seiring dengan peningkatan atmosfer persaingan di kompetisi.

Barcelona sedang mencari momentum kebangkitan. Gambar: AFP via Elsavador.com
Barcelona sedang mencari momentum kebangkitan. Gambar: AFP via Elsavador.com
Sebenarnya, bukan hal baru ketika melihat banyak klub yang tidak dijagokan untuk menghuni zona papan atas malah membuat rentetan tren positif di awal musim. Namun, apa yang terjadi saat ini seperti berdampak lebih parah dari sebelumnya.

Secara pribadi, saya menyoroti perbedaan itu terlihat lebih jelas pada kubu Barcelona. Mereka terlihat sangat kompleks permasalahannya dan itu tidak hanya berasal dari teknis di lapangan, melainkan juga di luar lapangan.

Seperti hubungan antara Messi dengan Bartomeu. Saya yakin, ini juga merembet pada semua pemain. Walaupun, di lapangan mereka seperti tidak memikirkan itu, tetapi ketika tim sedang tidak impresif, para pemain mulai terlihat berantakan.

Ini juga diperparah dengan hasil El Clasico jilid pertama musim 2020/21 yang berakhir kekalahan 1-3 dari Real Madrid. Hasil ini menjadi pukulan besar di awal pengabdian Ronald Koeman sebagai pelatih di laga El Clasico. 

Pelatih asal Belanda itu memang sangat bertanggungjawab terkait laga tersebut. Tetapi, semua permasalahan Barcelona akan lari ke Bartomeu. Mengapa?

Karena, ia adalah pemegang kendali Barcelona. Apa yang dilakukan dan dialami Barcelona pasti berkaitan dengan keputusan dan tindakannya.

Itulah mengapa, ia juga dapat diseret ke dalam permasalahan Barcelona, termasuk kekalahan di El Clasico. Menariknya, pasca El Clasico, Barcelona harus bertemu dengan Juventus di lanjutan Liga Champions 2020/21 (29/10).

Laga ini juga bisa menjadi bahan untuk membombardir kenyamanan Bartomeu untuk duduk di kursi kepresidenannya, jika Barcelona kalah. Tetapi, hal itu ternyata tidak akan terjadi.

Sebelum laga itu dimulai, Bartomeu telah memilih mengundurkan diri. Ini membuat dia bisa dikatakan terbebas dari beban penudingan para penggemar Barcelona jika Blaugrana kalah.

Baca salah satu ulasannya: Bartomeu Resign (Gobin Dd)

Namun, keputusan ini tidak seratus persen membuatnya menjadi pecundang. Dia malah patut diacungi jempol, karena telah membuktikan bahwa "kepalanya bukan terbuat dari batu".

Keputusannya juga bisa disyukuri oleh banyak orang yang menginginkan adanya bukti perbaikan Barcelona jika tanpa Bartomeu. Artinya, keputusan ini memang menghasilkan sudut pandang yang 50-50.

Pada satu sisi, ia terlihat seperti pecundang, karena gagal menuntaskan masa baktinya. Satu sisi lainnya, ini justru menjadi momentum atau pemantik bagi Barcelona untuk bangkit.

Siapa tahu, dengan terbebasnya Barcelona dari cengkeraman rezim Bartomeu, El Barca dapat kembali menjadi klub terbaik seperti di masa-masa sebelumnya. Semoga!

Terima kasih, Bartomeu! Selamat menempuh hidup baru sebagai seorang bapak yang pernah menjadi presiden Barcelona.

~Malang, 28 Oktober 2020
Deddy Husein S.

Terkait:

Goal.com

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun