Tetapi, akhirnya saya memang harus seperti itu. Alasannya sederhana, agar saya mencari media lain untuk menulis, yaitu blog.
Menulis di blog juga menjadi pondasi saya untuk membangun kepercayaan diri. Di sana pula saya bisa memuaskan diri untuk menulis sepanjang-panjangnya. Seperti yang dikeluhkan oleh orang-orang yang pernah membaca unek-unek saya di medsos yang berumus persegi
panjang.
Namun, hantaman kembali hadir ketika ada yang membaca tulisan saya di blog dan mengaitkan dengan apa yang sedang terjadi di kehidupan nyata. Seseorang menuntut saya untuk bisa membantu orang lain tanpa tahu-menahu bahwa saya sedang degradasi kepercayaan diri.
Melalui upaya tulis-menulis di blog itu padahal untuk membangun kepercayaan diri saya. Bukan untuk memotivasi orang lain. Hanya, ketika (ternyata) bahasanya memotivasi, itu karena tulisannya dibaca orang lain juga, bukan hanya untuk saya sendiri.
Menurut saya, ketika tulisan itu berpotensi dibaca banyak orang, maka sudah seharusnya pembaca dapat memetik manfaatnya. Jika hanya berkaitan dengan curahan hati saja, buat apa? Bukankah lebih baik di medsos saja? Kenapa harus repot menulis di blog?
Bagi saya, sebelum saya dapat membantu orang lain, saya harus bisa membantu diri saya. Kalau saya membantu diri saya saja susah, bagaimana dengan orang lain?
Tidak lama kemudian, saya menemukan topik tulisan yang menurut saya tepat, yaitu sepak bola. Dari topik itulah, akhirnya ada yang mengapresiasi secara konstruktif.
Ada seorang teman yang menyarankan saya untuk mencoba masuk ke media massa nasional. Saran itu berdasarkan ia membaca tulisan saya tentang sepak bola.
Namun, sepertinya jalan saya belum saatnya untuk ke sana. Hingga kemudian, bertemulah saya dengan platform bernama Kompasiana.