Mohon tunggu...
Deddy Husein Suryanto
Deddy Husein Suryanto Mohon Tunggu... Penulis - Content Writer

Penyuka Sepak Bola. Segala tulisan selalu tak luput dari kesalahan. Jika mencari tempe, silakan kunjungi: https://deddyhuseins15.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Hobby Artikel Utama

Menulis untuk Menumbuhkan Percaya Diri

24 Oktober 2020   05:24 Diperbarui: 25 Oktober 2020   11:26 587
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi menulis (Gambar: Pexels/Ivan Samkov)

Sebagai orang yang sepertinya tidak dimodali rasa percaya diri yang cukup, nyaris sepanjang waktu saya habiskan untuk menumbuhkan rasa itu. Tentu saja tidak mudah, tetapi seiring berjalannya waktu saya mulai menemukan resep-resepnya.

Sebenarnya belum banyak resep yang saya miliki atau yang sudah saya yakini kemanjurannya. Tetapi, setidaknya ada satu resep utama yang dapat saya pegang. Khususnya untuk saat ini.

Resep itu adalah menulis.

Awalnya, saya belum yakin apakah mampu melakukannya. Tetapi, ketika saya membangunnya dari cara yang menurut saya benar, maka keyakinan itu bertumbuh pelan tapi pasti. Apa itu?

Membeli buku dan membaca. Dua hal ini sangat berkaitan dengan erat, khususnya dalam kacamata saya. Kebetulan, saya lebih suka membaca buku karena saya punya bukunya, daripada membaca buku tapi hasil dari meminjam.

Bukan bermaksud sombong, tetapi hanya perihal kenikmatan, kepuasan, dan tanggung jawab. Tiga poin ini sudah mendarah-daging di pikiran saya tanpa perlu saya buat-buat. Buat apa berlagak demikian, jika uang jajan saya pas-pasan?

Ketika saya memiliki buku, maka membaca buku itu akan nikmat. Saya tidak akan terburu-buru untuk menyelesaikan buku itu jika ternyata isinya sangat menarik dan sayang untuk segera dituntaskan.

Pada perihal kepuasan, saya kaitkan dengan kecenderungan orang zaman sekarang yang sering mengunggah segala sesuatu di akun media sosialnya. Bukan berarti yang bermodalkan pinjaman itu tidak bagus.

Hanya, bagi saya itu seperti menunjukkan perkakas milik orang lain tetapi di rumahnya sendiri. Menurut saya itu agak aneh.

Walau demikian, di perihal tanggung jawab, saya justru mengacungkan jempol kepada mereka yang berani meminjam buku orang lain. Karena, saya cenderung kurang berani meminjam buku orang lain. Kalau perpustakaan sekolah--dulu, iya.

Ketika meminjam buku, maka tanggung jawabnya seperti meminjam uang. Harus dikembalikan. Kalau uang harus senominal yang dipinjam, kalau buku juga harus dikembalikan dalam keadaan sesuai dengan bentuk sebelumnya. Jangan sampai dirusakkan!

Masalahnya, hal itu sulit untuk dijamin. Itulah yang membuat saya ragu untuk meminjam buku orang lain. Walaupun, sekali-dua kali pernah.

Berangkat dari membeli dan membaca buku, saya mulai membangun minat untuk menulis. Tetapi, saat itu medianya masih belum jelas.

Ada suatu masa saya memiliki media untuk menulis, tetapi secara teknis saya masih sulit untuk berkembang. Akhirnya, saya memilih untuk menahan diri.

Sepertinya saat itu, saya terlalu bernafsu untuk mengeluarkan hasil tanpa memperkaya isinya terlebih dahulu. Dari situlah saya mencoba untuk menata ulang pondasi untuk menulis.

Ilustrasi membaca buku (Gambar: Pexels/Thought Catalog)
Ilustrasi membaca buku (Gambar: Pexels/Thought Catalog)
Saya kembali lagi dengan rajin membaca. Tetapi, jangan berpikir bahwa bacaan saya berat-berat. Bacaan saya adalah bacaan yang bagi orang lain itu belum tentu menarik untuk dibicarakan semalam suntuk.

Memang, seiring berjalannya waktu saya juga menyentuh buku-buku dari penulis-penulis terkenal di Indonesia. Tetapi, itu malah bukan untuk menyenangkan diri saya melainkan untuk mengimbangi kepalanya orang lain.

Itu pula yang membuat saya menjadi lebih percaya diri dibandingkan sebelumnya, walau masih belum banyak. Masih banyak yang belum saya perkuat, yaitu kembali lagi tentang upaya menulis.

Awalnya, saya berangkat sebagai orang yang gemar cuap-cuap di media sosial (medsos). Tetapi, pada akhirnya saya mulai berpikir, bahwa menulis di media sosial (medsos) terkadang mengganggu orang lain.

Nahasnya, ketika orang lain terganggu, maka orang lain itu juga mengganggu saya. Otomatis saya juga merasa terganggu.

Berangkat dari suatu pengalaman buruk bermedia sosial, saya akhirnya cenderung pasif--hingga seperti saat ini. Padahal, dulu saya menjadikan media sosial sebagai "alter ego", dan itu demi membangun kepercayaan diri.

Sudah di dunia nyata lebih banyak diam, masa di dunia maya juga diam? Begitu kira-kira yang saya pikirkan.

Tetapi, akhirnya saya memang harus seperti itu. Alasannya sederhana, agar saya mencari media lain untuk menulis, yaitu blog.

Menulis di blog juga menjadi pondasi saya untuk membangun kepercayaan diri. Di sana pula saya bisa memuaskan diri untuk menulis sepanjang-panjangnya. Seperti yang dikeluhkan oleh orang-orang yang pernah membaca unek-unek saya di medsos yang berumus persegi
panjang.

Namun, hantaman kembali hadir ketika ada yang membaca tulisan saya di blog dan mengaitkan dengan apa yang sedang terjadi di kehidupan nyata. Seseorang menuntut saya untuk bisa membantu orang lain tanpa tahu-menahu bahwa saya sedang degradasi kepercayaan diri.

Melalui upaya tulis-menulis di blog itu padahal untuk membangun kepercayaan diri saya. Bukan untuk memotivasi orang lain. Hanya, ketika (ternyata) bahasanya memotivasi, itu karena tulisannya dibaca orang lain juga, bukan hanya untuk saya sendiri.

Menurut saya, ketika tulisan itu berpotensi dibaca banyak orang, maka sudah seharusnya pembaca dapat memetik manfaatnya. Jika hanya berkaitan dengan curahan hati saja, buat apa? Bukankah lebih baik di medsos saja? Kenapa harus repot menulis di blog?

Tetap ngeblog demi membangun kepercayaan diri yang dangkal. (Gambar: Pexels/Pixabay)
Tetap ngeblog demi membangun kepercayaan diri yang dangkal. (Gambar: Pexels/Pixabay)
Tetapi, begitulah rintangannya. Saya malah merasa bersyukur karena dengan itu saya bisa lebih fokus dengan apa yang saya kerjakan sendiri. Selama itu untuk misi menyelamatkan hidup saya, kenapa tidak?

Bagi saya, sebelum saya dapat membantu orang lain, saya harus bisa membantu diri saya. Kalau saya membantu diri saya saja susah, bagaimana dengan orang lain?

Tidak lama kemudian, saya menemukan topik tulisan yang menurut saya tepat, yaitu sepak bola. Dari topik itulah, akhirnya ada yang mengapresiasi secara konstruktif.

Ada seorang teman yang menyarankan saya untuk mencoba masuk ke media massa nasional. Saran itu berdasarkan ia membaca tulisan saya tentang sepak bola.

Namun, sepertinya jalan saya belum saatnya untuk ke sana. Hingga kemudian, bertemulah saya dengan platform bernama Kompasiana.

Gambar: Kompasiana.com
Gambar: Kompasiana.com
Awalnya saya ragu. Salah satu keraguannya adalah ketika saya membaca tulisan bercetak tebal di setiap akhir halaman artikel. "Tulisan di sini adalah tanggung jawab penulis", kurang lebih begitu intinya.

Sebagai orang yang menulis karena suka-suka, tentu agak khawatir jika kemudian ada permasalahan akibat perbuatan jemari saya. Namun, entah kenapa setelah timbang sana-sini, saya akhirnya memberanikan diri untuk mendaftar.

Seingat saya, November 2018, saya bergabung dengan Kompasiana. Saat itu momennya ada turnamen sepak bola yang diikuti timnas Indonesia. Maka, tidak mengherankan jika tulisan pertama saya adalah sepak bola dan timnas.

Coba baca: Tetap Mendukung Timnas

Tetapi, merujuk pada awal mula saya diapresiasi di blog, memang tulisan saya sebagian besar tentang sepak bola. Itulah kenapa, saya berusaha konsisten menulis tentang sepak bola di Kompasiana.

Saya merasa terbukakan peluang untuk membangun kepercayaan diri juga dari sana. Ada yang mengapresiasi, maka saya mencoba untuk berkembang. Dari sana kemudian saya seperti saat ini.

Tentunya, masih sebagai orang yang biasa-biasa saja. Tetapi, saya sekarang sudah cukup percaya diri untuk menyebut diri saya sebagai penulis, yang sebelumnya tidak seyakin itu.

Saya bersyukur, Kompasiana mengapresiasi kehadiran saya. Mau membuka diri kepada saya, meski saya berlatar belakang antah-berantah. Tidak seperti orang lain yang sudah bermodalkan status sosial yang luar biasa.

Saya justru merasa terbangunkan status sosial saya karena Kompasiana. Akhirnya, saya menemukan wadah yang bisa dikatakan sangat menampung orang yang seperti saya.

Mereka juga awalnya tidak terlalu ambil pusing dengan aktivitas saya di media sosial, karena saya memang sudah tidak lagi sering bermain media sosial. Tetapi, lagi-lagi Kompasiana juga secara tidak langsung mendorong saya untuk kembali terbuka dengan publik dunia maya.

Salah satunya dengan Instagram. Media sosial yang sebenarnya sangat tidak sesuai dengan saya saat ini. Tetapi, demi tidak sering dicap sebagai orang sombong, saya mencoba untuk membuat akun Instagram.

Meskipun saya akhirnya punya akun Instagram (lagi), tapi saya memilih untuk lebih fokus menulis di Kompasiana. Bukan bermaksud mencari muka kepada Kompasiana.

Saya melakukan ini, karena saya lebih nyaman menulis apa yang saya sukai dan tidak perlu menghabiskan waktu untuk mencurahkan isi hati atau latar belakang saya. Toh, apa yang bisa dibagikan dari hidup saya yang masih seupil Thanos?

Tetapi, khusus untuk momen ulang tahun Kompasiana yang ke-12, saya sedikit membagikan bagaimana latar belakang saya. Khususnya, tentang bagaimana saya bisa dengan percaya diri menulis seperti saat ini.

Gambar: Pexels/Cottonbro
Gambar: Pexels/Cottonbro
Gambar: Kompasiana
Gambar: Kompasiana
Pokoknya, selamat ulang tahun yang ke-12 untuk Kompasiana! Semoga panjang umur dan mampu (secara tidak langsung) membantu orang-orang yang krisis kepercayaan diri seperti saya. Tetaplah menjadi tenda besar yang ramah untuk siapa saja. Amin....

~Malang, 23 Oktober 2020
Deddy Husein S.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun