Mohon tunggu...
Deddy Husein Suryanto
Deddy Husein Suryanto Mohon Tunggu... Penulis - Content Writer

Penyuka Sepak Bola. Segala tulisan selalu tak luput dari kesalahan. Jika mencari tempe, silakan kunjungi: https://deddyhuseins15.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Bola Pilihan

Dijagokan Menang, PSG Malah Tumbang dari Manchester United

21 Oktober 2020   07:00 Diperbarui: 21 Oktober 2020   07:17 381
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
PSG terlampau sering andalkan akselerasi individu dari Neymar dan Mbappe. Keputusan mereka pun kadang kurang tepat. Gambar: Twitter/PSG_English

Sebelum kick-off, Paris Saint-Germain (PSG) lebih dijagokan daripada Manchester United. Namun, pada kenyataannya justru Manchester United yang menang 1-2 berkat gol Bruno Fernandes dan Marcus Rashford.

Hasil ini sedikit di luar dugaan. Namun, jika menonton pertandingannya, terlihat ada faktor nyata yang melandasi kekalahan si tuan rumah. Faktor itu datang dari Kimpembe dkk. dan tentunya dari Bruno Fernandes dkk.

Faktor dari PSG adalah mereka sebenarnya tim besar tapi tidak terbiasa bertanding di level yang seharusnya. Tentu, yang dimaksud adalah liga domestiknya.

Meskipun tidak bermaksud meremehkan Ligue 1, namun seharusnya patut dipahami bahwa permainan di Prancis tidak akan sekompleks di Premier League. Bukti paling sederhana adalah keberadaan pemain yang berada di kompetisi tersebut.

Para oom atau malah kakek-kakek yang masih gemar mengikuti sepak bola masa kini pasti tidak begitu familiar dengan pemain-pemain dari Ligue 1. Jika bukan karena klubnya bermain di Liga Champions dan Liga Europa, rasanya sulit untuk mengenal pemain dari Liga Prancis.

Misalnya, Edouard Mendy, Gabriel Magalhaes, Alex Runnarson, hingga Kenny Tete. Mereka adalah deretan pemain dari Ligue 1 yang terlihat ingin meningkatkan kualitas di EPL. Hal ini belum dengan liga lain, seperti Serie A yang kedatangan Victor Osimhen yang merupakan rekrutan Napoli.

Kalaupun ada pemain yang familiar di telinga masyarakat penggemar bola, sebagian besar karena pemain-pemain itu adalah pemain berkelas yang sedikit tersisih. Seperti Memphis Depay, Cesc Fabregas, Hatem Ben Arfa, Dimitri Payet, hingga Kevin Strootman.

Bukti lainnya yang semakin mudah dilihat adalah jarak antara PSG dengan klub-klub lain. Setiap musim bukan hanya PSG mampu menjuarai liga, tetapi mereka juga memiliki jarak poin hingga surplus golnya yang sangat berbeda jauh dibandingkan klub lain.

Pertandingan Ligue 1 2020/21 pekan 7, hanya Lille dan PSG yang bisa menang dan tanpa kebobolan. Gambar: Google/Ligue 1
Pertandingan Ligue 1 2020/21 pekan 7, hanya Lille dan PSG yang bisa menang dan tanpa kebobolan. Gambar: Google/Ligue 1
Setiap kita mendapat kabar tentang hasil pertandingan di Ligue 1 dan itu adalah laga PSG, pasti skornya akan mencolok. Itu tanda, bahwa nyaris tidak ada yang bisa menyaingi kualitas para pemain PSG.

Berdasarkan hal ini, PSG terlihat sulit untuk konsisten menjaga kualitas permainannya, yaitu antara bermain di Ligue 1 dan Liga Champions (UCL). Hal ini tampak saat menjamu Manchester United.

Memang, ini masih laga pertama di fase grup UCL. Tetapi, melihat permainannya yang tidak begitu terorganisir, sangat memperlihatkan betapa PSG sebagian besar permainannya bergantung pada kualitas individu.

Hal ini terlihat semakin jelas di babak kedua, yang mana pola serangannya sangat monoton dengan mengandalkan akselerasi Mbappe atau Neymar di sisi kiri. Belum lagi ditambah dengan Kurzawa.

Artinya, pola serangan PSG berat sebelah. Hal ini juga sebenarnya sudah terlihat di babak pertama, tapi peran Angel Di Maria masih cukup terlihat.

Formasi Manchester United (21/10). Gambar: Google/UCL/PSGvsMUN
Formasi Manchester United (21/10). Gambar: Google/UCL/PSGvsMUN
Namun, di babak kedua perannya semakin tenggelam. Entah, apakah ini karena instruksi Thomas Tuchel untuk menggempur sisi kanan Man. United yang diisi oleh Wan-Bissaka dan Tuanzebe.

Bruno Fernandes pun tidak jarang untuk membantu menutup celah di sisi kanan. Namun, anehnya PSG tetap berupaya menerobos sisi kiri.

Melihat kebebalan strategi bermain PSG ini, seolah mereka menganggap Manchester United seperti klub mayoritas di Prancis yang masih mudah ditaklukkan dengan akselerasi individu. Padahal, sekomedi-komedinya Manchester United di EPL, seharusnya PSG tetap menganggap mereka sebagai rival kuat--yang tentu seharusnya lebih tangguh dari kontestan Ligue 1.

PSG terlampau sering andalkan akselerasi individu dari Neymar dan Mbappe. Keputusan mereka pun kadang kurang tepat. Gambar: Twitter/PSG_English
PSG terlampau sering andalkan akselerasi individu dari Neymar dan Mbappe. Keputusan mereka pun kadang kurang tepat. Gambar: Twitter/PSG_English
Parameter ini sebenarnya tidak sepenuhnya menjamin, bahwa klub dari EPL sudah pasti akan menang atas klub Ligue 1. Namun, jika secara khusus melihat bagaimana cara bermain PSG di laga ini, mereka seperti sedang bermain di Ligue 1.

Sebenarnya jika ditarik mundur ke musim lalu, permainan PSG sedikit mirip seperti ini. Hanya, mereka mampu beradaptasi dengan cepat untuk setara dengan level permainan yang sesungguhnya demi menuju final.

Buktinya ada di laga melawan Atalanta. Itu adalah proses perjuangan para pemain PSG untuk sadar bahwa pola permainan mereka harus berubah untuk mencapai hasil yang lebih baik daripada di level domestik.

Secara skor, PSG memang sebenarnya tidak perlu mencetak banyak gol seperti saat berlaga di Ligue 1. Mereka hanya perlu bermain kolektif dan efektif. Jika itu dilakukan, mereka pasti akan mampu bermain lebih baik sesuai dengan kualitas para pemainnya yang mentereng.

Bagaimana dengan Manchester United?

Faktor besar yang dibuat Manchester United di laga ini ada 3. Peran Bruno, kerja keras para pemain saat bertahan, dan sistem kerja pembuktian ala Ole Gunnar Solskjaer.

Bruno Fernandes kapten di laga tandang melawan PSG (21/10). Gambar: Manutd.com
Bruno Fernandes kapten di laga tandang melawan PSG (21/10). Gambar: Manutd.com
Peran Bruno di laga ini tidak hanya sebagai playmaker dan pencetak gol, tetapi juga menjadi kapten. Penunjukkan kapten ini membuat Bruno terlihat lebih dominan dalam mengajak rekan-rekannya di level yang seharusnya.

Secara gestur, ia terus memperhatikan gerak-gerik rekan-rekannya. Ia juga terlihat berupaya membangunkan dan mengingatkan rekan-rekannya agar tetap fokus sebelum babak kedua dimulai.

Seperti yang sudah-sudah, ia memang selalu berinteraksi dengan rekan-rekannya. Ban kapten pun terasa semakin cocok. Belum lagi dengan gol penaltinya yang membuat Man. United terlebih dahulu. Itu adalah bukti bahwa Bruno sangat mampu untuk diandalkan.

David De Gea tampil prima. Gambar: Twitter/ManUtd
David De Gea tampil prima. Gambar: Twitter/ManUtd
Melihat apa yang dilakukan Bruno ini, semua rekannya terlihat berupaya bermain tak kalah maksimalnya. Khusus pada saat bertahan, laga ini menjadi cerminan bahwa Manchester United sebenarnya juga bisa sedisiplin dan sekompak itu.

Jika mereka tidak melawak, lawan pun kesulitan untuk mencetak gol. Walaupun pada akhirnya ada gol bunuh diri Anthony Martial, tapi itu masih bisa dimaklumi sebagai kesialan.

Lalu, apa maksud dari sistem kerja pembuktian ala Ole?

Ole Gunnar Solskjaer bekerja dalam guncangan. Gambar: Manutd.com
Ole Gunnar Solskjaer bekerja dalam guncangan. Gambar: Manutd.com
Seperti yang sudah-sudah, Ole terlihat mampu mendorong para pemain mengeluarkan kemampuan terbaik ketika sedang di ujung tanduk atau sedang tidak memiliki kepastian. Ketika ia menjadi caretaker, Man. United tidak terkalahkan.

Tetapi, ketika resmi menjadi pelatih, Man. United langsung limbung. Begitu pun saat musim 2019/20. Mereka terlihat seperti sedang diancam untuk dapat finis di zona UCL, akhirnya mereka berupaya keras untuk menang.

Hanya, ketika mereka sudah lolos ke UCL, permainan mereka mulai terjun bebas. Lini depan semakin tumpul, dan imbasnya mereka menjadi spesialis semifinal di Piala FA dan Liga Europa.

Artinya, penampilan Man. United yang bisa dikatakan luar biasa di Parc des Princes itu adalah representasi dari ketidakamanan Ole juga Man. United. Bisa saja, para pemain Man. United masih ingin dilatih oleh Ole, sehingga berjuang sedemikian rupa sebagai pembuktian bahwa mereka masih pantas untuk bekerja sama.

Pertanyaannya, apakah Man. United akan mampu mempertahankan pola main ini?

~

Malang, 21 Oktober 2020

Deddy Husein S.

Terkait:
Uefa.com dan Manutd.com.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun