Sebelum kick-off, Paris Saint-Germain (PSG) lebih dijagokan daripada Manchester United. Namun, pada kenyataannya justru Manchester United yang menang 1-2 berkat gol Bruno Fernandes dan Marcus Rashford.
Hasil ini sedikit di luar dugaan. Namun, jika menonton pertandingannya, terlihat ada faktor nyata yang melandasi kekalahan si tuan rumah. Faktor itu datang dari Kimpembe dkk. dan tentunya dari Bruno Fernandes dkk.
Faktor dari PSG adalah mereka sebenarnya tim besar tapi tidak terbiasa bertanding di level yang seharusnya. Tentu, yang dimaksud adalah liga domestiknya.
Meskipun tidak bermaksud meremehkan Ligue 1, namun seharusnya patut dipahami bahwa permainan di Prancis tidak akan sekompleks di Premier League. Bukti paling sederhana adalah keberadaan pemain yang berada di kompetisi tersebut.
Para oom atau malah kakek-kakek yang masih gemar mengikuti sepak bola masa kini pasti tidak begitu familiar dengan pemain-pemain dari Ligue 1. Jika bukan karena klubnya bermain di Liga Champions dan Liga Europa, rasanya sulit untuk mengenal pemain dari Liga Prancis.
Misalnya, Edouard Mendy, Gabriel Magalhaes, Alex Runnarson, hingga Kenny Tete. Mereka adalah deretan pemain dari Ligue 1 yang terlihat ingin meningkatkan kualitas di EPL. Hal ini belum dengan liga lain, seperti Serie A yang kedatangan Victor Osimhen yang merupakan rekrutan Napoli.
Kalaupun ada pemain yang familiar di telinga masyarakat penggemar bola, sebagian besar karena pemain-pemain itu adalah pemain berkelas yang sedikit tersisih. Seperti Memphis Depay, Cesc Fabregas, Hatem Ben Arfa, Dimitri Payet, hingga Kevin Strootman.
Bukti lainnya yang semakin mudah dilihat adalah jarak antara PSG dengan klub-klub lain. Setiap musim bukan hanya PSG mampu menjuarai liga, tetapi mereka juga memiliki jarak poin hingga surplus golnya yang sangat berbeda jauh dibandingkan klub lain.
Berdasarkan hal ini, PSG terlihat sulit untuk konsisten menjaga kualitas permainannya, yaitu antara bermain di Ligue 1 dan Liga Champions (UCL). Hal ini tampak saat menjamu Manchester United.
Memang, ini masih laga pertama di fase grup UCL. Tetapi, melihat permainannya yang tidak begitu terorganisir, sangat memperlihatkan betapa PSG sebagian besar permainannya bergantung pada kualitas individu.
Hal ini terlihat semakin jelas di babak kedua, yang mana pola serangannya sangat monoton dengan mengandalkan akselerasi Mbappe atau Neymar di sisi kiri. Belum lagi ditambah dengan Kurzawa.
Artinya, pola serangan PSG berat sebelah. Hal ini juga sebenarnya sudah terlihat di babak pertama, tapi peran Angel Di Maria masih cukup terlihat.
Bruno Fernandes pun tidak jarang untuk membantu menutup celah di sisi kanan. Namun, anehnya PSG tetap berupaya menerobos sisi kiri.
Melihat kebebalan strategi bermain PSG ini, seolah mereka menganggap Manchester United seperti klub mayoritas di Prancis yang masih mudah ditaklukkan dengan akselerasi individu. Padahal, sekomedi-komedinya Manchester United di EPL, seharusnya PSG tetap menganggap mereka sebagai rival kuat--yang tentu seharusnya lebih tangguh dari kontestan Ligue 1.
Sebenarnya jika ditarik mundur ke musim lalu, permainan PSG sedikit mirip seperti ini. Hanya, mereka mampu beradaptasi dengan cepat untuk setara dengan level permainan yang sesungguhnya demi menuju final.
Buktinya ada di laga melawan Atalanta. Itu adalah proses perjuangan para pemain PSG untuk sadar bahwa pola permainan mereka harus berubah untuk mencapai hasil yang lebih baik daripada di level domestik.
Secara skor, PSG memang sebenarnya tidak perlu mencetak banyak gol seperti saat berlaga di Ligue 1. Mereka hanya perlu bermain kolektif dan efektif. Jika itu dilakukan, mereka pasti akan mampu bermain lebih baik sesuai dengan kualitas para pemainnya yang mentereng.
Bagaimana dengan Manchester United?
Faktor besar yang dibuat Manchester United di laga ini ada 3. Peran Bruno, kerja keras para pemain saat bertahan, dan sistem kerja pembuktian ala Ole Gunnar Solskjaer.
Secara gestur, ia terus memperhatikan gerak-gerik rekan-rekannya. Ia juga terlihat berupaya membangunkan dan mengingatkan rekan-rekannya agar tetap fokus sebelum babak kedua dimulai.
Seperti yang sudah-sudah, ia memang selalu berinteraksi dengan rekan-rekannya. Ban kapten pun terasa semakin cocok. Belum lagi dengan gol penaltinya yang membuat Man. United terlebih dahulu. Itu adalah bukti bahwa Bruno sangat mampu untuk diandalkan.
Jika mereka tidak melawak, lawan pun kesulitan untuk mencetak gol. Walaupun pada akhirnya ada gol bunuh diri Anthony Martial, tapi itu masih bisa dimaklumi sebagai kesialan.
Lalu, apa maksud dari sistem kerja pembuktian ala Ole?
Tetapi, ketika resmi menjadi pelatih, Man. United langsung limbung. Begitu pun saat musim 2019/20. Mereka terlihat seperti sedang diancam untuk dapat finis di zona UCL, akhirnya mereka berupaya keras untuk menang.
Hanya, ketika mereka sudah lolos ke UCL, permainan mereka mulai terjun bebas. Lini depan semakin tumpul, dan imbasnya mereka menjadi spesialis semifinal di Piala FA dan Liga Europa.
Artinya, penampilan Man. United yang bisa dikatakan luar biasa di Parc des Princes itu adalah representasi dari ketidakamanan Ole juga Man. United. Bisa saja, para pemain Man. United masih ingin dilatih oleh Ole, sehingga berjuang sedemikian rupa sebagai pembuktian bahwa mereka masih pantas untuk bekerja sama.
Pertanyaannya, apakah Man. United akan mampu mempertahankan pola main ini?
~
Malang, 21 Oktober 2020
Deddy Husein S.
Terkait:
Uefa.com dan Manutd.com.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H